Cerpen  

Bara dalam Sekam

Avatar photo

Ning 6: Bara dalam Sekam

Satu Hari Sebelum Pemilihan…

Di sudut kamar yang remang, asap tipis mengepul dari rokok yang terselip di jemari Kinan. Aroma tembakau bercampur dengan udara yang terasa berat, menggantung seperti pertanda akan sesuatu yang buruk. Kursi kayu tua berderit saat ia bersandar, menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Suara dering memenuhi ruangan, menghancurkan kesunyian dengan nada ancaman.

Telepon berdering dan suara di seberang terdengar rendah dan memerah, seolah membawa beban yang tak terlihat.

Pak Pranoto: “Kinan, saya ingin kamu mundur dari pencalonan. Ini perintah.”

Kinan menggertakkan giginya, berusaha menahan amarah yang mulai terbakar dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, menghembuskan asap ke udara, lalu meletakkan rokoknya di tepi asbak yang penuh abu. Matanya menerawang, rahangnya mengeras, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan.

Kinan: (Hening sejenak, menarik napas dalam) “Saya tahu saya akan kalah, Pak. Tapi saya tidak mau menjadi pecundang yang mundur sebelum berjuang hingga akhir. Mohon Bapak jangan menahan saya, biarlah saya kalah sebagai kesatria.”

Suasana di ruangan terasa menegang. Kinan menggenggam ponselnya erat, bola matanya menatap lurus ke jendela, di luar sana kota mulai temaram, seolah ikut merasakan kegelisahannya. Di seberang sana, suara Pak Pranoto terdengar semakin dingin, seperti es yang tak bisa dicairkan.

Pak Pranoto: (Dengan nada tajam) “Jangan keras kepala, Kinan. Ini bukan sekadar permintaan, ini keputusan terbaik untuk semuanya.”

Kinan mengepalkan tangannya, jarinya menekan puntung rokok hingga padam. Hatinya bergejolak, pikirannya berputar-putar, mencari celah di antara ancaman halus yang terdengar seperti nasihat bijak.

Kinan: (Dengan suara penuh tekad) “Dengan segala hormat, Pak, saya tetap pada keputusan saya. Kalau ini tentang kepentingan yang lebih besar, biarkan pemilihan berjalan sebagaimana mestinya. Saya akan menerima hasilnya dengan lapang dada.”

Di ujung telepon, terdengar helaan napas panjang sebelum sambungan terputus. Kinan menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup mata sejenak, sementara perasaan tak nyaman mulai menguasai dirinya, seperti badai yang mengancam datang.

Kinan mengusap wajahnya, meraih rokok baru, menyalakannya dengan tangan sedikit gemetar. Ia tahu ini belum selesai. Malam masih panjang, dan badai mungkin akan datang sebelum fajar, membawa ketidakpastian yang tak terelakkan.

Kinan berdiri, melangkah ke jendela dengan langkah berat. Di luar, lampu-lampu kota berkelip-kelip seperti bintang yang tertutup awan gelap. Ia membuka jendela, menghirup udara malam yang dingin, berharap angin bisa menenangkan kegelisahan di hatinya.

Ia teringat pada kata-kata istrinya, Ning, yang selalu mendukungnya apa pun yang terjadi. “Kamu adalah pejuang, Kinan. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu,” suara Ning terngiang di benaknya. Kinan mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya.

Ia kembali duduk di kursi, tatapannya penuh tekad dan semangat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus berjuang hingga akhir. Baginya, menyerah bukanlah pilihan.

*****

Kinan bukan sekadar calon pemimpin. Ia seorang jurnalis yang telah bertahun-tahun bertugas di lapangan, meliput berbagai peristiwa besar dengan penuh dedikasi. Ketika pandemi COVID-19 melanda, ia diperbantukan di sebuah lembaga kemanusiaan untuk memperkuat divisi komunikasi. Tugasnya jelas: membangun narasi yang menggerakkan masyarakat untuk membantu sesama.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *