“Aku tidak ingin Ning terluka,” gumamnya, suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Aku hanya ingin melindunginya…”
Di balik air matanya, Ning mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata penuh kepedihan. Ia menggeleng pelan, lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Bapak… aku minta maaf… Aku tidak ingin membuat Bapak marah…”
Sementara itu, di luar rumah, Kinan berlari secepat yang ia bisa. Napasnya tersengal, dadanya terasa seperti dihantam ribuan pukulan ketakutan. Pikirannya kacau. Ia membayangkan wajah Ning yang ketakutan, suara tangisnya yang memecah malam.
“Apa yang terjadi padanya sekarang? Apakah Pak Karta melukainya?”
Hatinya dipenuhi rasa cemas dan cinta yang begitu dalam. Ia tahu risikonya jika datang ke rumah Ning. Ia tahu Karta tidak akan menerimanya begitu saja. Tapi itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah Ning.
Sesampainya di depan rumah, Kinan berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri meskipun jantungnya masih berdegup kencang. Ketakutan sempat menyelinap ke dalam dirinya, tapi ia menepisnya.
Tanpa berpikir lebih lama, ia mendorong pintu rumah Ning dan masuk.
Begitu masuk, pemandangan yang ia lihat menusuk hatinya. Ning terduduk di tempat tidurnya, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar ketakutan. Di depannya, Karta berdiri dengan tangan mengepal, wajahnya masih menyimpan kemarahan yang belum reda.
Tanpa ragu, Kinan melangkah mendekat.
“Pak Karta, tolong…” katanya dengan suara yang penuh ketulusan. “Jangan marah. Aku berjanji akan menjaga Ning, aku tidak akan membiarkan dia terluka…”
Matanya menatap penuh permohonan, berharap kata-katanya bisa mencapai hati pria itu.
Namun, Karta malah semakin berang. Ia berbalik, menatap Kinan dengan tatapan penuh amarah. “Kamu!” suaranya menggema, menusuk udara seperti bilah pisau. “Kamu yang membuat Ning terluka! Kamu tidak boleh datang ke sini lagi!”
Sebelum Kinan sempat menjawab, Karta melayangkan pukulan keras ke wajahnya.
Dugg!
Kinan tersentak, tubuhnya sedikit goyah. Namun, ia tidak melawan. Ia hanya berdiri diam, menerima setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya.
Dugg! Dugg!
Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, tapi Kinan tetap diam. Bukan karena ia tidak mampu membalas, tapi karena ia tidak ingin memperburuk keadaan.
Ning menjerit. “Bapak, jangan!” Air matanya semakin deras, suaranya penuh kepedihan. Ia mencoba bangkit, ingin menghentikan ayahnya, tapi tubuhnya terasa lemah.
Karta masih marah, tapi tangannya mulai gemetar. Napasnya memburu, emosinya bercampur dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Asmara menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca. “Pak, cukup…” bisiknya.
Karta masih berdiri di sana, dadanya naik turun. Ia menatap Kinan yang tetap berdiri tegak meskipun wajahnya berlumuran darah. Lalu ia menatap Ning, putrinya yang masih menangis tersedu-sedu.
Malam semakin larut, tapi ketegangan di ruangan itu belum juga mereda.
*****
Ning tidak bisa menahan diri lagi. Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, ia berlari menuju Kinan dan berusaha menghalangi pukulan ayahnya dengan tubuhnya sendiri.
“Bapak, berhenti! Tolong jangan pukul Kinan lagi!” teriaknya dengan suara yang penuh kepedihan. Ia memeluk Kinan erat, tubuhnya gemetar di antara isakan tangisnya.
Namun, Karta masih terbakar amarah. Matanya yang tajam dipenuhi kemarahan yang sulit diredam. “Minggir, Ning!” bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
Ning menggeleng dengan keras, air matanya semakin deras. “Bapak, aku tidak bisa melihat Kinan dipukul lagi! Aku tidak bisa!” suaranya pecah, hampir tak terdengar di antara isakannya. Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia berusaha menahan lengan ayahnya, berharap bisa menghentikannya.
Tapi Karta terlalu kuat. Ia melepaskan pegangan Ning dengan mudah dan tetap melayangkan pukulan ke arah Kinan.
“Berhenti, Karta!” Asmara, yang sejak tadi berusaha menenangkan situasi, kini berlari dan mencoba menahan lengan suaminya. Matanya basah, suaranya penuh kepanikan. “Tolong… cukup! Kamu tidak boleh seperti ini! Kamu akan menyakiti Ning juga!”
Tapi Karta masih terbawa emosi.
Sementara itu, Kinan yang wajahnya sudah penuh luka tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menatap Ning yang masih menangis di depannya.
“Ning… aku baik-baik saja…” suaranya lirih, lembut, penuh kasih sayang, meskipun jelas tubuhnya tak lagi mampu bertahan. “Jangan menangis… Aku tidak apa-apa…”
Ning menggeleng, air matanya semakin deras. Ia menggenggam tangan Kinan dengan erat, seolah takut kehilangan sosok yang begitu ia cintai.
“Tidak, Kinan… Kau tidak baik-baik saja…” suaranya bergetar hebat. “Aku tidak bisa melihatmu seperti ini… Aku tidak bisa!”
Kinan tersenyum lemah, mencoba menenangkan Ning meskipun tubuhnya sendiri sudah nyaris tak berdaya.
Tapi tubuhnya tak lagi bisa menyangga semua luka yang telah ia terima. Kinan akhirnya limbung.
“Ning…” Suara Kinan hampir tak terdengar sebelum tubuhnya jatuh dengan keras ke lantai.
Bugh!
Ning menjerit. “Kinan!”
Ia langsung berlutut, mengguncang tubuh Kinan dengan panik. Darah merembes dari luka-lukanya, wajahnya pucat.
“Kinan, bangun! Tolong bangun!” Ning menangis semakin histeris, memeluk Kinan erat, seolah bisa mengembalikan kesadarannya hanya dengan kehangatan tubuhnya.
Namun, Kinan tetap diam. Napasnya pelan… terlalu pelan.
Karta yang sejak tadi dipenuhi amarah kini terpaku. Ia menatap tubuh Kinan yang tak bergerak, dan untuk pertama kalinya, sorot matanya berubah. Jantungnya berdebar keras, napasnya tercekat.
Tangannya yang masih terangkat mulai gemetar.
“Apa yang telah aku lakukan…?” gumamnya, suaranya dipenuhi penyesalan yang terlambat datang.
Ia berjongkok di samping Kinan, menyentuh bahunya, mencoba mengguncangnya pelan.
“Kinan… bangun, Nak…” suaranya jauh lebih pelan, lebih lirih.
Tapi Kinan tetap diam.
Asmara menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya ikut bergetar. Suasana ruangan mendadak sunyi… hanya suara tangisan Ning yang terdengar, memenuhi malam yang seakan berhenti berputar.
*****
Kinan membuka matanya perlahan. Pandangannya masih sedikit buram, tubuhnya terasa lelah seolah baru saja melalui perjalanan panjang. Tapi di balik kelelahan itu, ada sesuatu yang berbeda—sebuah perasaan yang begitu hangat menyelimuti hatinya.
Saat kesadarannya semakin pulih, ia melihat Karta dan Asmara berdiri di samping tempat tidurnya. Wajah mereka dipenuhi kebahagiaan, senyum hangat menghiasi bibir mereka.
“Kinan, bangun…” suara Asmara terdengar lembut, penuh kasih sayang. “Anakmu sudah lahir.”
Sekejap, semua rasa lelah menghilang. Mata Kinan membelalak, jantungnya berdebar lebih cepat. Ia langsung bangkit dari tempat tidur, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas menuju ruang persalinan.
Saat ia membuka pintu, suara tangis bayi menggema di ruangan itu—nyaring, hidup, penuh keajaiban.
Hatinya bergetar.
Di atas ranjang, Ning berbaring dengan wajah yang pucat namun dipenuhi senyum kelelahan. Matanya memancarkan kebahagiaan yang tak tergambarkan.
Kinan melangkah mendekat, menatap Ning dengan mata yang berbinar. Tanpa ragu, ia memeluk istrinya erat, seolah ingin membagikan semua kebahagiaan yang memenuhi dadanya.
“Terima kasih, sayang…” bisiknya penuh haru. “Terima kasih telah memberiku seorang anak laki-laki.”
Ning tersenyum kecil, meski tubuhnya masih lemah. Ia membalas pelukan Kinan, merasakan kehangatan dan cinta yang begitu mendalam.
“Aku cinta kamu, Kinan…” suaranya pelan, penuh ketulusan. “Dan aku cinta anak kita…”
Asmara yang menggendong bayi kecil itu tersenyum, lalu dengan hati-hati menyerahkannya kepada Kinan.
Kinan menerima bayinya dengan tangan yang sedikit gemetar. Saat ia menggendong anaknya untuk pertama kali, keajaiban lain pun terjadi—tangisan bayi itu mereda, dan sepasang mata kecil yang bening menatapnya lekat-lekat.
Waktu seakan berhenti.
Kinan menelan ludah, merasakan emosi yang meluap-luap di dadanya. Ada kebanggaan, ada cinta, ada janji yang tanpa suara terukir di hatinya—janji untuk selalu melindungi, membimbing, dan mencintai anak ini dengan segenap jiwanya.
“Aku akan memberinya nama… Kinanda,” ucapnya lirih, suaranya dipenuhi kasih sayang yang tak terhingga.
Karta dan Asmara saling berpandangan, lalu tersenyum haru. Mereka mengangguk penuh restu, bahagia melihat keluarga kecil yang baru saja terbentuk.
Di ruangan itu, hanya ada kebahagiaan.
Kinan, Ning, dan Kinanda—sebuah keluarga kecil yang kini telah sempurna.
*****
Di dalam ruangan putih yang sunyi, seorang bayi tertidur dalam dekapan ayahnya. Napasnya pelan, matanya yang bening menatap ke atas, seolah ingin memahami dunia yang baru saja ia masuki.
Kinan menatap putranya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebahagiaan yang meluap-luap, tapi juga ketakutan yang mengendap di sudut hatinya. Dunia ini terlalu luas, terlalu penuh dengan rahasia yang tak selalu indah.
Di sampingnya, Ning menggenggam tangannya, kehangatan yang sama mengalir di antara mereka. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada janji yang terucap tanpa kata-kata.
Dulu, mereka pernah terpisah oleh badai. Tapi kini, mereka telah sampai di sini—di titik di mana cinta tak hanya soal bertahan, tapi juga tentang melangkah bersama.
Tapi hidup adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai.
Di balik kebahagiaan ini, di balik pelukan dan senyum yang mereka bagi, ada pertanyaan yang menggantung di udara.
Kemana cinta ini akan membawa mereka selanjutnya?
Dalam sunyi, Kinan menatap ke langit-langit, lalu berbisik—“Tuhan, Nanti Dimana?”
*Kisah ini fiktif. Nama, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini hanyalah karangan penulis semata dan tidak berhubungan dengan kejadian nyata. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa atau tokoh nyata, itu hanyalah kebetulan belaka.
[poll id=”4″]









