“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 10.2: Pewaris Panglima Hitam
Angin berhembus lembut dari arah laut, menyapu pasir putih di tepian Pulau Tidung Kecil. Ombak berdesir pelan, seolah enggan mengganggu keheningan yang menyelimuti tempat itu.
Di bawah sebuah pohon rindang yang menjulang kokoh, dua sosok terdiam, terperangkap dalam dunia ketidaksadaran yang berbeda.
Nayaka Sari duduk bersandar pada batang pohon tua, wajahnya tampak gelisah. Keningnya berkerut, napasnya tersengal, dan butiran keringat mengalir perlahan, membasahi dagu serta pipinya.
Jari-jarinya sedikit berkedut, seolah berusaha menggenggam sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang menahan jiwanya dalam pertempuran yang tak kasat mata.
Sementara itu, tak jauh darinya, Saga terdiam dengan ekspresi yang jauh berbeda. Wajahnya begitu tenang, seperti seseorang yang telah menemukan kedamaian dalam dunia batinnya.
Bahkan dalam ketidaksadarannya, kulitnya memancarkan kilau samar, seperti sinar yang perlahan berpendar dari dalam dirinya.
Hasanudin berdiri tak jauh dari mereka, matanya menatap dengan cermat. Ia telah tiba beberapa saat lalu, terpanggil oleh bisikan gaib yang mengarahkannya ke tempat ini.
Kini, ia menyaksikan dua sosok yang terjebak dalam sesuatu yang lebih besar daripada sekadar tidur biasa.
Ia berjongkok, mengamati wajah Saga dan Nayaka dengan penuh perhatian. Ada hal yang janggal—ketidakseimbangan energi antara keduanya.
Nayaka tampak terperangkap dalam bayangan ketakutan, sementara Saga tampak tenggelam dalam cahaya yang menguat.
Hasanudin menarik napas dalam-dalam, lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Nayaka. Dengan lembut, ia menyentuh pundak perempuan itu, berharap bisa menariknya keluar dari mimpi yang membelenggu.
“Nayaka…” suaranya dalam, penuh ketenangan. “Bangunlah… Kegelapan tidak boleh menguasaimu.”
Namun, tubuh Nayaka tiba-tiba bergetar. Jemarinya mencengkram pasir dengan kuat, sementara bibirnya bergerak tanpa suara, seakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Saga, di sisi lain, masih diam. Cahaya dari tubuhnya semakin terang, seolah ada energi yang melindunginya dari gangguan yang melanda Nayaka.
Hasanudin menoleh ke arahnya, mata tajamnya menangkap sesuatu yang unik—kilau cahaya itu bukan sekadar pantulan sinar matahari, tapi berasal dari dalam tubuhnya, dari sesuatu yang lebih dalam lagi.
Ia bergumam pelan, menyadari satu hal. Perbedaan mereka bukan hanya dalam keadaan fisik, tetapi juga dalam perjalanan batin mereka.
Nayaka masih bertarung melawan bayangan yang tersisa dalam jiwanya, sementara Saga telah menemukan sebagian dari jawabannya—sesuatu yang membuat dirinya semakin bersinar.
Hasanudin tahu ia harus bertindak cepat. Ia meraih botol kecil dari kantong kain yang tergantung di pinggangnya, membuka tutupnya, lalu meneteskan satu tetes cairan ke telapak tangannya. Aroma menyengat menyeruak, bercampur dengan udara laut yang segar.
Dengan hati-hati, ia mengusap cairan itu ke kening Nayaka, lalu membisikkan doa dengan suara perlahan.
Seperti disentak oleh kekuatan tak terlihat, tubuh Nayaka tiba-tiba tersentak. Matanya terbuka lebar, napasnya memburu, seolah baru saja keluar dari kedalaman yang gelap. Ia menoleh cepat, mencari arah, sebelum tatapannya jatuh pada Hasanudin.
Hasanudin menghela napas, memandangi Nayaka yang masih terdiam. Ia tahu ada sesuatu yang berat dalam ingatannya—dan ia hanya bisa menunggu sampai Nayaka sendiri siap berbicara
“Hasanudin…?” suaranya lirih, penuh kebingungan.
Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Kau kembali, Nayaka. Kau telah melewati ujian batinmu.”
Nayaka masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi ketika Saga tiba-tiba menarik napas panjang, matanya perlahan terbuka. Cahaya dari tubuhnya memudar, berganti dengan ekspresi yang damai dan penuh kewaspadaan.
Ia menatap Hasanudin, lalu beralih ke Nayaka, menyadari bahwa sesuatu telah berubah dalam diri mereka.
Hasanudin berdiri, lalu menatap mereka berdua dengan penuh harapan. “Kalian telah melewati batas yang tak semua orang bisa lewati. Tapi perjalanan ini belum selesai. Pulau Tidung Kecil menyimpan lebih banyak rahasia… dan kalian harus siap untuk menghadapinya.”
Saga dan Nayaka saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka baru saja melewati sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketidaksadaran.
Di kejauhan, awan perlahan berarak, menyibak cahaya senja yang mulai merayap di ufuk barat. Pulau ini masih menyimpan misterinya—dan mereka harus siap mengungkapnya.
*****
Nayaka masih separuh sadar, pikirannya berusaha merangkai potongan bayangan yang baru saja muncul dalam ketidaksadarannya. Ia merasa ada sesuatu yang mendesak di kepalanya, seakan ada tangan tak terlihat yang menariknya ke dalam lorong waktu yang belum sepenuhnya ia pahami.
Bayangan itu bermula…
Di tengah taman bermain yang penuh warna, suara tawa anak-anak menggema, bercampur dengan aroma bunga yang terlalu manis—terlalu sempurna. Udara terasa lebih hangat dari seharusnya, sinar matahari menyelimuti tempat itu dengan kilau keemasan yang hampir menyilaukan.
Nayaka berdiri mematung, matanya tertuju pada keluarga kecil yang sedang bermain di bawah pohon besar.
Raden Arya Saka mengayunkan anak perempuan kecil di atas ayunan, wajahnya penuh kebahagiaan. “Lihat dia, Larasati,” katanya sambil tersenyum.
“Anak kita ini akan tumbuh menjadi perempuan yang kuat. Aku bisa melihat keberanian di matanya, bahkan sejak kecil.”
Ratu Larasati tertawa lembut, memegang tangan kecil Nayaka. “Dia bukan hanya kuat, Arya. Dia juga cerdas. Aku yakin dia akan membawa kebanggaan bagi kita, bagi keluarga kita.”
Nayaka kecil tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Namun, Nayaka dewasa yang menyaksikan semua ini merasa ada yang salah. Pakaian mereka, lingkungan ini, semuanya terasa asing.
“Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Langit tiba-tiba berubah. Awan gelap menggulung, menutupi sinar matahari. Suara tawa itu memudar, digantikan oleh bisikan-bisikan yang tak jelas. Sosok lain muncul dari balik bayangan pohon. Ki Patih Suryanata.
Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. Ia berjalan mendekati keluarga kecil itu dengan langkah tenang namun penuh ancaman.
Raden Arya Saka berdiri, melindungi keluarganya. “Apa yang kau inginkan, Suryanata?” suaranya tegas, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Ki Patih Suryanata tersenyum tipis, penuh kebencian. “Aku ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau dan keluargamu hanyalah penghalang.”
Ratu Larasati menarik Nayaka kecil ke pelukannya, matanya penuh ketakutan. “Jangan lakukan ini, Suryanata. Dia masih anak-anak!”
Namun, tanpa ragu, Ki Patih Suryanata menghunus pedang panjang dari balik jubahnya. Dalam sekejap, ia menyerang.
Darah memercik, melukis bunga-bunga di taman dengan warna merah pekat. Raden Arya Saka dan Ratu Larasati terjatuh, tubuh mereka tak bergerak.
Nayaka kecil menangis, suaranya menggema di seluruh taman. Ki Patih Suryanata mendekatinya, wajahnya tanpa ekspresi. Ia mengangkat botol kecil berisi cairan hitam pekat, lalu memaksa Nayaka kecil meminumnya. Anak itu meronta, namun kekuatannya tak sebanding.
Nayaka dewasa menyaksikan semuanya dengan mata terbuka lebar, tubuhnya gemetar. Ia ingin menghentikan itu semua, namun kakinya tetap terpaku di tempat. Cairan hitam itu mengalir ke tenggorokan Nayaka kecil, dan seketika, matanya tertutup.
Taman itu mulai runtuh. Pohon-pohon bunga layu, permainan anak-anak berkarat, dan tanah di bawahnya retak, menampakkan jurang gelap yang tak berdasar. Nayaka dewasa terjatuh, tubuhnya melayang ke dalam kegelapan.
Di tengah kehampaan itu, ia mendengar suara Ki Patih Suryanata, dingin dan penuh kekuasaan. “Ingatanmu adalah milikku, Nayaka. Kau tak akan pernah tahu kebenaran.”
Nayaka tersentak, matanya terbuka lebar, napasnya memburu. Dadanya naik turun, seperti baru saja keluar dari jurang yang dalam.
Keringat dingin masih mengalir di wajahnya, menyatu dengan pasir putih yang menempel di kulitnya. Dunia di sekelilingnya terasa buram—seolah-olah ia masih terjebak antara mimpi dan kenyataan.
Di hadapannya, sosok Hasanudin berjongkok, wajahnya penuh kecemasan. Ia menyentuh pundak Nayaka dengan lembut, mencoba menariknya kembali ke dunia nyata.
“Nayaka… kau baik-baik saja?” suara Hasanudin terdengar jauh, seakan berasal dari dua dunia yang berbeda.
Nayaka mengedipkan matanya berulang kali, mencoba menyelaraskan pikirannya. Namun, dalam bayangan buramnya, ia masih bisa melihat sekilas gambaran taman yang sebelumnya menyiksanya.
Ia masih bisa mendengar suara tawa kecilnya sendiri—dan jeritan pilu kedua orang tuanya.
Ia menggeleng cepat, mengusir bayangan itu. Namun, tubuhnya masih terasa berat, seakan sesuatu dari mimpi itu belum sepenuhnya pergi.
Hasanudin menghela napas, lalu meraih botol kecil dari kantongnya. “Minumlah ini, agar kau bisa benar-benar sadar.”
Nayaka meraih botol itu dengan tangan gemetar, kemudian meneguknya perlahan. Rasa pahit menyentak lidahnya, tapi setidaknya, pikirannya mulai kembali tenang.
Di sisi lain, Saga masih terdiam, wajahnya tetap memancarkan kilau aneh. Ia belum tersadar sepenuhnya—masih berada dalam dunianya sendiri.
Hasanudin menatapnya, lalu kembali menoleh ke Nayaka. “Ada apa dengan kalian berdua? Kalian terlihat seperti baru saja melewati sesuatu yang berat.”
Nayaka menggigit bibirnya, memilih diam sejenak. Namun, dalam hati, ia tahu—mimpi itu bukan sekadar ilusi biasa.
*****
Seperti halnya Nayaka, Saga yang juga masih belum sepenuhnya sadar. Dalam batas antara mimpi dan kenyataan, pikirannya kembali mengurai pengalaman yang baru saja dialaminya di dimensi yang berbeda. Bukan mimpi, bukan pula kenyataan, tetapi sesuatu yang jauh lebih nyata dari keduanya—sesuatu yang telah mengubah dirinya.
Kini, ia merasakan energi yang berbeda mengalir dalam tubuhnya, jauh lebih kuat dibanding sebelum dirinya melangkah ke dalam ruangan luas tak berbatas, tempat di mana cahaya putih menyilaukan memenuhi setiap sudut.