Cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji di awal perjalanan, tetapi juga tentang bagaimana bertahan dalam badai yang menerpa. Kadang, jarak bukan sekadar ruang yang memisahkan, tetapi juga perasaan yang perlahan memudar. Ini adalah kisah tentang bagaimana rindu bisa mengalahkan ego dan membawa dua hati yang terpisah kembali bersama.
*****
Di sebuah rumah mungil di pinggiran kota, Ning menatap jam dinding dengan perasaan cemas. Pukul sebelas malam, dan Kinan belum juga pulang. Hujan rintik-rintik membasahi jendela, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram.
Kinanda dan Kinanti sudah terlelap di kamar mereka, napas kecil mereka terdengar lembut dalam keheningan malam.
Ning menghela napas panjang. Seragam perawatnya masih melekat di tubuhnya, menunjukkan kelelahan setelah seharian menangani pasien di rumah sakit. Ia meraih ponselnya, menekan nomor suaminya untuk kesekian kali, namun lagi-lagi hanya nada sambung yang terdengar.
Pintu akhirnya berderit terbuka. Kinan masuk dengan langkah berat. Jas hujan yang dikenakannya masih basah, rambut hitamnya berantakan, dan matanya menyiratkan keletihan.
“Kinan! Kamu ke mana saja? Aku telepon berkali-kali!” suara Ning bergetar antara marah dan khawatir.
Kinan melepas jas hujannya tanpa menoleh. “Aku kerja, Ning. Mencari berita, seperti biasa.”
“Kerja sampai tengah malam? Apa kamu pikir aku nggak khawatir? Aku di rumah sendirian dengan anak-anak, menunggu kamu pulang tanpa kepastian!”
Kinan mendesah. “Aku lelah, Ning. Aku nggak mau bertengkar sekarang.”
“Kamu selalu begitu! Menghindar! Aku capek, Kinan! Aku nggak butuh alasan, aku butuh kamu! Aku butuh seorang suami, seorang ayah buat anak-anak kita!” suara Ning meninggi, air matanya hampir pecah.
Kinan menatapnya dengan mata dingin. “Dan aku butuh sedikit ruang untuk bernapas.”
Hari-hari berlalu, dan pertengkaran mereka semakin intens. Ning merasakan jarak yang semakin lebar, sementara Kinan semakin tenggelam dalam dunianya sendiri. Suatu malam, setelah pertengkaran hebat, Kinan mengemasi barangnya.
“Aku pergi,” katanya tanpa banyak kata.
“Kinan, jangan…” Ning meraih tangannya, tapi Kinan menepisnya.
“Aku butuh waktu, Ning. Aku nggak bisa terus seperti ini.”
Ning hanya bisa berdiri terpaku, melihat suaminya melangkah keluar rumah.
*****
Malam itu, Ning duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela. Kepalanya dipenuhi kenangan. Saat Kinan melamarnya, saat mereka tertawa bersama, saat mereka menggendong Kinanda untuk pertama kali. Kapan semua ini berubah?
“Apa aku yang salah? Apa aku terlalu menuntut? Atau dia yang sudah tak lagi peduli?” tanyanya lirih kepada dirinya sendiri.
Esok harinya, Ning mencoba menghubungi Kinan. Tak ada jawaban. Hatinya makin gelisah. Akhirnya, dia menelepon Rangga, kakak Kinan.
“Rangga, kamu tahu Kinan di mana? Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi dia nggak pernah jawab.”
Rangga menghela napas. “Dia di rumah orang tua kami, Ning. Dia butuh waktu. Tapi aku yakin, dia juga merindukan kalian.”
Sementara itu, di rumah orang tuanya, Kinan duduk di teras dengan secangkir teh di tangan. Ia memandangi langit yang kelabu. Ada sesuatu yang kosong dalam dirinya.
Ibunya, Rima, menatapnya lembut. “Kinan, sampai kapan kamu mau begini? Ning dan anak-anak pasti menunggu kepulanganmu.”
“Aku lelah, Bu. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa kami sudah terlalu jauh.”
“Lari bukan solusi, Nak. Pernikahan itu tentang berjuang bersama. Apa kamu yakin akan bahagia tanpa mereka?” kata Rima sambil menatap anaknya dalam-dalam.
Kinan terdiam. Kata-kata ibunya menggema di kepalanya. Malam itu, ia berjalan di sekitar halaman rumah orang tuanya. Di saku jaketnya, ada gambar Kinanda dan Kinanti yang selalu ia bawa. Melihat senyum anak-anaknya di foto itu, hatinya terasa sesak. Ia merindukan mereka lebih dari yang ia sadari.
Di rumah, Kinanda menarik baju Ning. “Bu, Ayah ke mana? Kok nggak pulang-pulang?”
Ning mengusap kepala putranya, tersenyum meski hatinya perih. “Ayah lagi kerja di luar kota, Nanda. Nanti kalau Ayah sudah selesai, Ayah pasti pulang.”
Tapi kapan? Ning sendiri tak tahu jawabannya.
Suatu malam, Kinanda duduk di dekat jendela, menggambar sesuatu di bukunya. Ning mendekat dan melihat gambar sederhana seorang pria dengan dua anak kecil di sampingnya.
“Ini siapa, Nanda?”
“Ayah… Aku kangen Ayah,” jawab Kinanda polos.
Hati Ning mencelos. Ia tak bisa menunggu lebih lama. Esoknya, ia memberanikan diri datang ke rumah orang tua Kinan.
Di ruang tamu, mereka duduk berhadapan dalam diam. Udara terasa berat.
Tiba-tiba, Kinanda dan Kinanti yang ikut bersama Ning berlari ke arah ayah mereka.
“Ayah!” teriak Kinanda, berusaha memeluk Kinan. Kinanti pun tak mau kalah, berusaha meraih ayahnya lebih dulu.
Kinan tergelak dan membuka kedua lengannya, menerima keduanya dalam pelukannya yang erat. “Jagoan Ayah! Tuan putri cantik Ayah! Ayah kangen kalian!” suaranya bergetar penuh emosi.
Ning akhirnya membuka suara, suaranya bergetar. “Kinan, aku minta maaf. Aku tahu aku terlalu keras. Aku merindukanmu, aku merindukan kita.”
Kinan menatap dalam mata istrinya, lalu tersenyum. Ia meraih tangan Ning dan menggenggamnya erat. “Kita pulang. Kita perbaiki semuanya.”
Mereka bertiga tertawa bahagia dalam pelukan yang hangat. Rima menatap mereka dengan mata berbinar, senyum puas tersungging di wajahnya. Ia tahu, anaknya telah menemukan jalan pulang.
*****
Tidak ada kisah cinta yang sempurna. Namun, setiap kesalahan, setiap pertengkaran, dan setiap air mata bisa menjadi pelajaran untuk menjadi lebih baik. Kinan dan Ning memilih untuk kembali, bukan karena mereka tak pernah salah, tapi karena mereka ingin berjuang untuk satu sama lain. Dan di rumah kecil mereka, cinta kembali tumbuh, lebih kuat dari sebelumnya.
*Kisah ini fiktif. Nama, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini hanyalah karangan penulis semata dan tidak berhubungan dengan kejadian nyata. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa atau tokoh nyata, itu hanyalah kebetulan belaka.
[poll id=”4″]










Cerita yang penuh arti. Walau hanya madalah keluarga sederhana, namun mampu membawa saya hanyut dan terinspirasi. Selamat, teruskan berkarya.
Terima kasih atas komentar kak Rahman, ini membuat saya lebih semangat membuat karya-karya tulis lainnya.
Cerita yang inspiratif dan edukatif. Menyala terus ide-ide kreatif. Aamiinnn
Terima kasih banyak, M. Nur! Saya sangat senang Anda menikmati cerita ini dan merasa terinspirasi. Semoga ide-ide kreatif Anda terus menyala dan membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Aamiin!