Pulau Sebira — Di ujung utara Kepulauan Seribu, Pulau Sebira menyimpan kisah perubahan besar dalam konservasi penyu sisik. Dahulu, masyarakat setempat berburu telur penyu untuk dijual atau dikonsumsi. Namun, sejak 2015, kesadaran mulai tumbuh, mengubah pola pikir dari eksploitasi menjadi pelestarian.
Agung, Ketua Kelompok Konservasi Swadaya Masyarakat Sebira Bahari, mengenang masa-masa ketika penyu sisik hampir punah akibat perburuan yang tak terkendali. “Dulu, berburu telur penyu adalah hal biasa. Jika tidak terjual, masyarakat mengonsumsinya. Bahkan, induk penyu sering dikuliti untuk dijadikan aksesoris. Kami tidak menyadari bahwa tindakan ini mempercepat kepunahan mereka,” ujarnya, Minggu (8/9/2025).
Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai merasakan dampak dari berkurangnya populasi penyu. Para pemburu mengeluhkan bahwa hasil buruan mereka semakin sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Agung melihat ini sebagai kesempatan untuk menyadarkan mereka.
“Saya katakan kepada mereka, kalau penyu terus diburu, suatu saat kita tidak akan melihat mereka lagi di pulau ini,” tambahnya.
Awal Perubahan: Dari Pemburu Menjadi Pelestari
Pada 2015, kelompok konservasi Sebira Bahari terbentuk dengan lima anggota awal. Mereka membangun gubuk sederhana sebagai tempat penangkaran, menggunakan material bekas dari renovasi masjid. Tanpa dukungan resmi, mereka mengandalkan swadaya dan semangat komunitas.
Awalnya, kelompok ini berencana membesarkan anak penyu sebelum dilepas ke laut. Namun, setelah mendapatkan bimbingan dari Balai Konservasi DKI Jakarta, mereka memahami bahwa pembesaran tidak dianjurkan karena dapat mengurangi kemampuan penyu beradaptasi di habitat aslinya. Kini, setiap telur yang menetas langsung dilepas ke laut, kecuali beberapa ekor yang disimpan untuk edukasi dan penelitian.
Dukungan mulai berdatangan. Pada 2016, Bank Indonesia memberikan bantuan berupa genset dan freezer untuk penyimpanan pakan. Tahun 2018, kelompok ini berupaya mendapatkan legalitas agar bisa mengajukan bantuan lebih besar, termasuk pembangunan fasilitas yang lebih permanen. Namun, kendala administratif membuat mereka harus bernaung sementara di bawah Karang Taruna.
Kesadaran Masyarakat yang Semakin Tinggi
Perubahan pola pikir masyarakat menjadi salah satu pencapaian terbesar kelompok ini. Jika dulu telur penyu diburu, kini warga justru melaporkan keberadaan sarang penyu kepada kelompok konservasi.
“Dalam tiga tahun terakhir, masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga ekosistem penyu. Bahkan ada warga yang menghubungi kami lebih dulu untuk memberi informasi tentang sarang penyu,” tambah Agung.
Kini, setiap pagi sebelum bekerja, anggota kelompok melakukan patroli untuk memastikan tidak ada gangguan terhadap sarang penyu. “Dulu, kami sering menemukan telur yang diambil atau induk penyu yang terluka. Sekarang, masyarakat justru membantu menjaga mereka,” kata Agung.
Konservasi penyu di Pulau Sebira tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada ekonomi lokal. Wisatawan yang tertarik dengan konservasi penyu mulai berdatangan, meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha lokal seperti homestay, catering, dan penyewaan perahu untuk snorkeling dan diving.
“Kami menyediakan celengan donasi bagi wisatawan yang ingin berkontribusi terhadap konservasi. Ini bukan bisnis, tetapi cara untuk memastikan keberlanjutan program kami,” jelas Agung.
Harapan ke Depan: Menuju Konservasi yang Lebih Terstruktur
Meski telah mencapai banyak hal, kelompok Sebira Bahari masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal legalitas. Mereka berharap dapat diakui sebagai lembaga resmi agar bisa mendapatkan dukungan lebih besar.
“Kami pernah diusulkan sebagai penerima penghargaan konservasi tingkat nasional, tetapi terkendala karena status kami masih di bawah Karang Taruna. Kami ingin menjadi lembaga independen agar bisa lebih fokus pada pelestarian penyu,” kata Agung.
Konservasi penyu di Pulau Sebira bukan sekadar upaya lingkungan, tetapi juga bagian dari perubahan sosial yang lebih besar. Dengan semakin banyaknya dukungan, diharapkan kelompok ini dapat berkembang menjadi lembaga resmi yang berkontribusi lebih luas dalam pelestarian satwa laut.
Pulau Sebira kini bukan hanya tempat bagi penyu sisik untuk bertelur, tetapi juga simbol perjuangan masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Perjalanan panjang dari eksploitasi menuju konservasi ini menjadi inspirasi bagi banyak komunitas lain yang ingin melakukan perubahan serupa.