Kisah  

Laga di Istana, Dendam yang Terbentuk

Bab 3

Avatar photo
Laga di Istana, Dendam yang Terbentuk

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

 

Bab 3: Laga di Istana, Dendam yang Terbentuk

Matahari mulai meninggi ketika rombongan kecil yang dipimpin Sulaiman bersiap meninggalkan desa menuju Kesultanan Demak. Mereka menggunakan sebuah dokar yang sederhana, ditarik oleh dua ekor kuda yang tampak kuat dan terlatih. Saga, Rahma, Gandi, dan Zainudin duduk di dalamnya, sementara Sulaiman berada di depan bersama kusir. Perjalanan mereka bukan hanya sekadar undangan untuk uji tanding, tetapi juga kesempatan bagi Saga untuk menemukan petunjuk lebih lanjut tentang asal-usul dan takdirnya.

Sulaiman sendiri bukanlah orang biasa. Ia adalah keturunan dari Gujarat yang telah lama menetap di Nusantara. Sebagai pemuka agama di desa Tanjung Pasir, ia dikenal sebagai sosok yang dihormati, baik dalam bidang keagamaan maupun keahliannya dalam bela diri. Sejak awal berdirinya Kesultanan Demak, ia telah mengabdikan diri sebagai jurumudi kapal perang, membantu mengawal armada Demak dalam berbagai ekspedisi.

Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil yang mulai terlihat berbeda dari sebelumnya. Banyak rakyat yang bekerja keras di ladang atau di jalan-jalan yang mulai diperlebar oleh para pekerja paksa. Wajah-wajah letih para buruh yang dipaksa bekerja oleh kolonial Belanda dan saudagar yang menjadi kaki tangan penjajah tampak jelas. Terkadang terdengar teriakan kasar dari para mandor yang mengawasi pekerjaan itu.

“Kenapa mereka dipaksa bekerja seperti ini?” tanya Saga dengan nada geram.

Sulaiman menghela napas panjang. “Inilah kenyataan pahit yang harus kita hadapi. Mereka dipaksa membangun jalan dan benteng untuk kepentingan kolonial. Sebagian besar hasil bumi kita pun diambil oleh mereka.”

Rahma mengepalkan tangan, matanya menunjukkan kemarahan. “Lalu, apa tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?”

“Kita tidak bisa bertindak gegabah, Rahma,” ujar Zainudin. “Kesultanan Demak pun masih mencari cara untuk melawan penjajah ini.”

Perjalanan terus berlanjut hingga menjelang senja. Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah hutan kecil dekat aliran sungai. Sulaiman dan Zainudin segera menyiapkan perapian, sementara Rahma membantu Hasanah menyiapkan makanan dari bekal yang mereka bawa. Gandi tampak kelelahan dan segera merebahkan diri di atas rerumputan.

Saga, di sisi lain, memilih menjauh sedikit dari rombongan dan duduk bersila di dekat sungai. Ia mulai memusatkan pikirannya, mengatur napas, dan melanjutkan latihannya dalam ilmu Saipi Angin. Ia sudah hampir mencapai tingkat kedua dan mulai merasakan aliran energi yang semakin stabil dalam tubuhnya.

Saat malam semakin larut, ia mendengar suara lembut yang familiar di benaknya.

“Saga… kau sudah semakin maju. Tapi masih ada satu hal yang harus kau pelajari.”

Saga membuka matanya, dan di hadapannya berdiri sosok Ratu Mayangsari dalam balutan cahaya samar.

“Apa yang harus kupelajari, Ratu?” tanyanya.

Ratu Mayangsari tersenyum. “Ilmu kebal yang akan melindungimu dari serangan senjata tajam, bahkan peluru senapan. Ilmu ini bernama Tameng Waja. Namun, butuh ketekunan dan pemurnian jiwa untuk menguasainya.”

Saga mengangguk. “Aku siap. Ajarkan padaku.”

Tanpa ragu, Ratu Mayangsari mulai membimbingnya dalam latihan energi baru ini. Malam itu, di bawah langit berbintang, Saga menyerap ilmu yang akan menjadi perisai bagi dirinya dalam pertarungan yang akan datang.

Malam semakin larut ketika Saga mencoba tidur, namun matanya sulit terpejam. Tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan, seperti sedang melayang dalam kegelapan. Sebuah suara dalam nada tenang dan berwibawa terdengar.

“Saga…”

Saga membuka matanya dan mendapati dirinya berdiri di sebuah ruangan luas dengan pilar-pilar emas yang menjulang tinggi. Di hadapannya, seorang pria berjubah hijau bermahkota sederhana duduk di atas singgasana.

“Sultan Demak…?” gumam Saga dengan bingung.

Sultan tersenyum. “Aku telah memperhatikanmu, wahai pemuda. Langkah-langkahmu telah membawamu lebih dekat pada takdir yang besar. Namun, ingatlah, dalam uji tanding esok hari, kau tidak boleh mengungkap semua kemampuanmu, terutama ilmu kebatinan dan Tameng Waja yang baru kau pelajari.”

Saga menunduk hormat. “Hamba mengerti, Baginda.”

Sultan mengangkat tangannya. Cahaya biru bersinar di hadapannya, lalu perlahan membentuk sebuah tombak dengan mata tajam berkilau yang berhiaskan ukiran lafaz La haula wa la quwwata illa billah.

“Ini adalah pusaka peninggalan para leluhur. Namanya Tombak Kiai Pleret. Ia akan menjadi bagian dari perjalananmu, dan kelak, nasibnya akan terhubung dengan pohon Dewandaru yang kau cari.”

Saga menatap pusaka itu dengan kagum. Saat ia mencoba menyentuhnya, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Ia terbangun dengan napas sedikit tersengal. Tangan kanannya terasa hangat, seolah masih menggenggam tombak itu. Ia menatap sekeliling, memastikan semuanya hanya mimpi. Namun, di sisinya, ia melihat secarik kain berisi ukiran lafaz yang sama seperti yang ada di tombak dalam mimpinya.

Di tengah alun-alun istana yang luas, Saga berhadapan dengan Rangga Wisesa, putra Ki Jagaseta. Sejak awal, Rangga Wisesa sudah menunjukkan kesombongannya.

“Kau ini siapa? Orang tanpa asal-usul yang hilang ingatan, apa pantas kau bertarung denganku?” ejek Rangga dengan nada angkuh.

Saga hanya diam, dalam hatinya ia mengulang lafaz yang terukir di tombaknya.

Rangga mulai menyerang dengan jurus Garuda Menyambar Angin, meluncur cepat dengan tangan terkepal ke arah dada Saga. Namun, Saga menghindar dengan langkah ringan.

“Hmph! Lihatlah jurus ketujuhku, Garuda Mencakar Langit!” Rangga menyerang dengan gerakan lincah, berusaha menjerat Saga dengan kombinasi tendangan dan pukulan cepat.

Saga mulai merasakan pola serangan Rangga. Ketika lawannya beralih ke Garuda Menerjang Ombak, Saga menyadari celahnya. Dengan gesit, ia menangkis dan memanfaatkan momentum untuk menyerang balik.

Puncaknya terjadi saat Rangga menggunakan Garuda Menderu-deru , jurus yang memanfaatkan kecepatan untuk menyerang dari berbagai arah. Namun, Saga mengandalkan ketenangannya dan dalam satu gerakan cepat, ia berhasil mengenai bahu Rangga, membuatnya tersungkur.

Melihat anaknya terluka, Ki Jagaseta turun ke arena, namun dicegah oleh Ki Patih Suryanata yang berwibawa. Dengan terpaksa, Ki Jagaseta menahan amarah, namun dendamnya terhadap Saga semakin mendalam.

Nantikan kisah selanjutnya di Bab 4: Titah Sang Sultan!

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!