“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 5: Prahara di Untung Jawa
Saga menutup matanya, merasakan angin laut yang sejuk dan segar menghembus wajahnya. Dengan napas dalam-dalam, dia merasakan kekuatan dan tekad yang membara di dalam hatinya seperti api yang menyala.
“Ya, Allah,” katanya dalam hati, “aku berharap perjalananku ini dapat dilalui dengan mudah. Aku berharap aku dapat menemukan apa yang aku cari dan kembali ke rumah dengan selamat.”
Namun, Saga juga tahu bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Dia menyadari bahwa dia akan menghadapi banyak tantangan dan bahaya di jalan, seperti ombak yang ganas dan badai yang menghantam.
“Ya, Allah,” katanya lagi, “aku siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku siap untuk berjuang, berusaha keras, dan menanggung risiko apa pun yang akan terjadi. Bahkan, nyawapun aku taruh sebagai taruhan.”
Gandi, yang duduk di sebelahnya, memegang bahu Saga dengan hangat. “Hey, Saga, jangan khawatir,” katanya dengan senyum yang menenangkan. “Kita akan melalui ini bersama-sama.”
Saga membuka matanya, merasakan kekuatan dan tekad yang membara di dalam hatinya. Dia melihat ke arah Gandi, dan merasa lebih tenang serta percaya diri.
Pemilik perahu, seorang pria setengah baya dengan wajah keriput dan mata bijak, menatap Saga dan berkata, “Kita akan singgah di Pulau Edam sebentar. Pulau ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona.”
Saat perahu mendekati Pulau Edam, Saga dapat melihat keindahan alam yang dimaksud pemilik perahu. Pulau Edam terlihat seperti mutiara yang terletak di tengah laut, dengan pantai-pantai putih dan pasir halus seperti sutra.
Di sekitar pulau, terumbu karang alami terhampar, dengan ikan-ikan berwarna-warni berenang di sekitarnya seperti pelangi yang bergerak. Udara di sekitar pulau terasa segar dan sejuk, dengan aroma laut khas seperti bunga yang sedang mekar.
Saat perahu berlabuh di pantai, Saga dapat melihat keindahan alam Pulau Edam lebih dekat. Di sekitar pantai, pohon-pohon rimbun dan tanaman hijau tumbuh, dengan bunga-bunga berwarna-warni bersemi di sekitarnya seperti permata yang berkilauan.
Suara burung-burung laut yang bernyanyi di sekitar pulau menambah keindahan alam Pulau Edam. Saga merasa seperti berada di sebuah surga yang terletak di tengah laut, dengan keindahan alam yang mempesona dan suasana yang tenang.
Kakek Berjubah Putih
Tiba-tiba, seorang kakek berjubah putih muncul di depannya. Kakek itu memiliki mata yang tajam dan wajah yang penuh kerutan, namun dia memiliki aura yang sangat kuat dan misterius. Saga dapat merasakan kehadiran kakek itu seperti sebuah badai yang akan datang, penuh dengan energi dan kekuatan.
Sebelum Saga bisa bereaksi, kakek itu sudah menghilang ke dalam rerimbunan pohon di Pulau Edam. Dengan cepat, Saga menggunakan ajian Saipi Angin tingkat 2, yang memungkinkannya bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
“Saya akan mengejar dia!” teriak Saga kepada Gandi dan pemilik perahu. “Tunggu saya di sini!”
Gandi dan pemilik perahu mengangguk dan memanggil, “Hati-hati, Saga!” Mereka memantau Saga yang berlari dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak di atas pasir putih Pulau Edam.
Saga sudah tidak mendengar lagi karena dia sudah berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi, mengejar kakek berjubah putih ke dalam rerimbunan pohon di Pulau Edam. Semakin jauh dia berlari, semakin cepat pula napasnya.
Meskipun Saga semakin menambah kecepatannya, dia tidak mampu mengejar sang kakek. Kakek itu semakin jauh dan jauh, hingga akhirnya dia menghilang dari pandangan Saga.
Saga berhenti di tengah-tengah hutan, napasnya terengah-engah karena kelelahan. Dia tidak bisa memahami bagaimana kakek itu bisa berlari dengan kecepatan yang begitu tinggi, padahal usianya sudah sangat tua. Suara-suara di hutan, seperti suara burung dan suara air, membuat Saga merasa lebih tenang.
Meskipun Saga merasa sedikit kecewa karena tidak bisa mengejar kakek itu, dia tidak menyerah. Dia berpikir bahwa kakek itu pasti memiliki alasan untuk berlari dengan kecepatan yang begitu tinggi, dan dia ingin tahu apa alasan itu.
Dengan tekad yang kuat, Saga memutuskan untuk mencari jejak kakek itu, berharap bisa menemukan petunjuk tentang apa yang terjadi. Dia mulai mencari sekitar hutan, berharap bisa menemukan sesuatu yang berguna.
Saat Saga berpaling, dia terkejut melihat si kakek sudah berdiri di belakangnya, dengan senyum bijak yang menghiasi wajahnya. Hutan di sekitar mereka terlihat sangat tenang, dengan pepohonan tinggi dan besar yang menjulang ke langit. Daun-daun pepohonan bergoyang-goyang dengan lembut, mengiringi percakapan antara Saga dan si kakek.
“Selamat datang, Saga,” kata si kakek dengan suara yang lembut namun penuh dengan otoritas. “Saya telah menunggumu.”
Saga terkejut, namun dia segera mengambil napas dalam-dalam dan memperkenalkan diri. “Saya Saga,” katanya. “Saya tidak mengerti, bagaimana Anda bisa tahu namaku?”
Si kakek tersenyum lagi, dan Saga melihat kilatan cahaya di matanya. “Saya adalah Kyai Pleret, jiwa yang berada di mata tombak yang diberikan oleh Sultan Demak,” jelasnya. “Saya telah menunggumu, Saga, karena kamu memiliki peran penting dalam perjuangan melawan kekuatan jahat yang akan datang.”
Saat Kyai Pleret selesai berbicara, Saga tiba-tiba merasakan kekuatan misterius yang menariknya ke arah sebuah pohon yang berdiri di dekatnya. Pohon itu memiliki batang yang besar dan kuat, dengan daun-daun yang hijau dan rimbun seperti permata yang berkilauan.
Deru Pohon Dewandaru
Sebelum Saga bisa bereaksi, pohon itu tiba-tiba bergerak, menarik Saga ke dalam batangnya dengan kekuatan yang sangat kuat. Saga merasa seperti terhisap ke dalam sebuah dimensi lain, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dia merasa seperti sedang mengalami sebuah perjalanan spiritual yang sangat dalam, dengan gambar-gambar yang tidak jelas dan warna-warna yang sangat cerah dan intens.
Saat Saga di dalam batang pohon Dewandaru, cuaca di luar tiba-tiba berubah menjadi tidak menentu. Angin kencang bertiup, membuat pohon-pohon di sekitar bergoyang-goyang dengan keras seperti sebuah orkestra yang sedang memainkan musik yang dramatis. Ombak tinggi menghantam pantai, membuat air laut membanjiri daratan seperti sebuah banjir yang tidak terduga.
Gandi dan pemilik perahu terkejut dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba ini. Mereka berdua berlari menuju sebuah gubuk yang terletak di dekat pantai, berusaha berlindung dari badai yang semakin kencang. “Apa yang terjadi?” tanya Gandi dengan khawatir. “Mengapa cuaca tiba-tiba berubah seperti ini?”
“Apa yang terjadi?” tanya Gandi dengan suara yang terdengar khawatir. “Cuaca tiba-tiba berubah seperti ini!”
Pemilik perahu menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu, tapi saya rasa ini bukan cuaca biasa. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di pulau ini.”
Saat mereka berdua berbicara, badai semakin kencang. Petir menyambar langit, membuat suara yang sangat keras. Hujan turun dengan deras, membuat air laut semakin tinggi. Gandi dan pemilik perahu berdua berlindung di dalam gubuk, berharap badai ini segera berlalu dan Saga selamat.
Di dalam batang pohon Dewandaru, Saga sedang menghadapi serangan gaib yang dahsyat. Sinar merah menyala berkali-kali menghantam ke arahnya, membuat udara di sekitarnya terasa panas dan bergetar. Saga merasa seperti sedang menghadapi sebuah badai yang tidak terhingga, dengan kekuatan gaib yang sangat kuat dan mengancam.
Saat Saga sedang bergerak untuk menghindari sinar merah, dia tiba-tiba mendengar bisikan Ratu Mayangsari. “Cepat keluarkan cincin pemberianku, Saga, dan satukan dengan mata tombak Kyai Pleret! Lalu, hantamkan ke arah sumber sinar merah itu!” Suara Ratu Mayangsari terdengar seperti sebuah bisikan yang lembut namun penuh dengan otoritas.
Tanpa ragu-ragu, Saga segera mengeluarkan cincin yang diberikan oleh Ratu Mayangsari dan menyatukannya dengan mata tombak Kyai Pleret. Saat keduanya bersatu, terjadi ledakan cahaya yang sangat kuat, membuat sinar merah yang menghantam ke arah Saga menjadi lemah. Cahaya itu terlihat seperti sebuah ledakan yang sangat besar, dengan warna yang sangat cerah dan intens.
Dengan kekuatan yang baru, Saga segera menghantamkan cincin dan mata tombak yang bersatu ke arah sumber sinar merah. Ledakan cahaya yang sangat kuat terjadi lagi, membuat sinar merah itu lenyap sepenuhnya. Suara ledakan itu terdengar seperti sebuah guntur yang sangat keras, mengguncang udara di sekitarnya.
Saat sinar merah itu lenyap, Dewandaru menjadi terkejut dan marah. “Kamu tidak bisa mengalahkanku!” teriak Dewandaru dengan suara yang sangat keras, membuat udara di sekitarnya bergetar.
Namun, saat melihat cincin yang digunakan Saga, Dewandaru merasa seperti telah ditelan oleh sebuah kegelapan yang sangat pekat. Dia tahu bahwa cincin itu adalah salah satu benda pusaka tertinggi dalam ranah benda pusaka di Nusantara, dan dia tidak bisa membayangkan bagaimana Saga bisa memiliki cincin seperti itu.
Dewandaru menjadi lebih berhati-hati dan tidak ingin mengambil risiko lagi. Dia tahu bahwa cincin itu memiliki kekuatan yang sangat besar dan bisa mengalahkannya. Dewandaru merasa seperti sedang berdiri di tepi sebuah jurang yang sangat dalam, dan dia tidak ingin jatuh ke dalamnya.
“Aku tidak ingin melawanmu lagi, Saga,” kata Dewandaru dengan suara yang lebih lembut, menunjukkan ketakutannya.
Saga merasa sedikit lega karena Dewandaru tidak ingin melawan lagi. Namun, dia juga penasaran tentang rahasia cincin yang digunakannya. Dia ingin tahu apa yang membuat cincin itu begitu kuat dan apa yang tersembunyi di balik kekuatannya.
“Apa yang terjadi dengan cincin ini?” tanya Saga kepada dirinya sendiri, penasaran tentang rahasia cincin yang membuat Dewandaru begitu takut. “Mengapa Dewandaru begitu takut dengan cincin ini?”
Pohon Dewandaru, yang telah ditaklukkan oleh Saga, bersedia menjadi bagian dari pusaka Saga. Dewandaru mengatakan bahwa dia ingin membantu Saga menjadi lebih kuat dan bijak.
Melalui sebuah batang utama pohon itu, Saga mendapat gagang pusaka untuk mata tombak Kyai Pleret. Gagang itu terasa sangat kuat dan pas di tangan Saga, membuatnya merasa lebih percaya diri.
Namun, yang tidak terduga adalah getah dari pohon Dewandaru yang secara tidak sengaja terkena hantaman cincin Saga. Getah itu masuk ke tubuh Saga dan membuatnya merasa sangat kuat dan berenergi.
Tiba-tiba, Saga merasakan bahwa daya dari ajian Tameng Waja-nya meningkat menjadi sempurna. Dia bisa merasakan kekuatan yang sangat besar dan tidak terkalahkan, seperti sebuah ledakan energi yang mengalir di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membuatnya merasa seperti seorang pejuang yang tidak terkalahkan.
“Terima kasih, Dewandaru!” kata Saga dengan suara yang penuh dengan rasa syukur. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa menjadi lebih kuat dan bijak tanpa bantuanmu!” Saga merasa seperti sedang berdiri di atas sebuah gunung yang sangat tinggi, dengan kekuatan dan kepercayaan diri yang sangat besar.
Dewandaru tersenyum dan mengatakan bahwa dia senang bisa membantu Saga. “Kamu adalah seorang yang berani dan bijak, Saga,” kata Dewandaru. “Aku yakin kamu akan menjadi seorang yang sangat hebat dan membantu banyak orang.”
Dewandaru memberikan batang utama miliknya untuk gagang pusaka untuk mata tombak Kyai Pleret yang dimiliki Saga. Gagang itu terasa sangat kuat dan pas di tangan Saga, seperti sebuah sarung tangan yang telah dibuat khusus untuknya.
Namun, yang tidak terduga adalah getah dari pohon Dewandaru yang secara tidak sengaja terkena hantaman cincin Saga. Getah itu masuk ke tubuh Saga dan membuatnya merasa sangat kuat dan berenergi, seperti sebuah mesin yang telah dihidupkan.
Tiba-tiba, Saga merasakan bahwa daya dari ajian Tameng Waja-nya meningkat menjadi sempurna. Dia bisa merasakan kekuatan yang sangat besar dan tidak terkalahkan, seperti sebuah api yang telah dinyalakan dan tidak bisa dipadamkan. Kekuatan itu membuatnya merasa seperti seorang pejuang yang tidak terkalahkan.
“Terima kasih, Dewandaru!” kata Saga dengan suara yang penuh dengan rasa syukur, seperti sebuah doa yang telah diucapkan. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa menjadi lebih kuat dan bijak tanpa bantuanmu!” Saga merasa seperti sedang berdiri di atas sebuah gunung yang sangat tinggi, dengan kekuatan dan kepercayaan diri yang sangat besar.
Dewandaru tersenyum dan mengatakan bahwa dia senang bisa membantu Saga, seperti sebuah senyum yang telah menyebar ke seluruh wajah. “Kamu adalah seorang yang berani dan bijak, Saga,” kata Dewandaru. “Aku yakin kamu akan menjadi seorang yang sangat hebat dan membantu banyak orang.”
Setelah itu, Saga terlempar keluar dari dalam batang pohon Dewandaru, seperti sebuah daun yang terlempar oleh angin. Sebelum itu, Dewandaru mengatakan, “Panggil aku, Saga, bila kau membutuhkan bantuan ku kelak.”
Saat Saga keluar dari pohon, dia melihat senyum dari jiwa Kyai Pleret, yang terlihat sangat puas dan bangga dengan keberhasilan Saga menundukkan Dewandaru. Senyum itu terlihat seperti sebuah sinar matahari yang menerangi wajah Kyai Pleret.
“Ah, Saga, kamu telah berhasil menundukkan Dewandaru,” kata jiwa Kyai Pleret dengan suara yang lembut seperti angin yang berhembus di pagi hari. “Aku sangat bangga dengan kamu. Kamu telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan yang sangat tinggi. Kamu telah membuktikan dirimu sebagai seorang pejuang yang tangguh dan bijak.”
Saat jiwa Kyai Pleret berbicara, dia secara ghaib meraga ke tombak yang dipegang Saga. Saga merasakan kekuatan yang sangat besar dan berenergi dari tombak itu, seperti sebuah arus listrik yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Terima kasih, Kyai,” kata Saga dengan suara yang penuh dengan rasa syukur. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa berhasil menundukkan Dewandaru tanpa bantuanmu.”
Jiwa Kyai Pleret tersenyum lagi, seperti sebuah senyum yang telah menyebar ke seluruh wajah. “Kamu tidak perlu berterima kasih, Saga,” katanya. “Kamu telah menunjukkan kekuatan dan kebijaksanaan yang sangat tinggi. Aku hanya membantu kamu untuk menemukan jalan yang benar.”
Saat itu, jiwa Kyai Pleret menghilang, meninggalkan Saga dengan tombak yang telah lengkap. Saga merasakan kekuatan yang sangat besar dan berenergi dari tombak itu, dan dia tahu bahwa dia siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.
Menapak di Untung Jawa
Setelah jiwa Kyai Pleret bersatu dengan tombak, kondisi cuaca membaik secara tiba-tiba. Angin kencang berhenti, hujan berhenti, dan matahari kembali bersinar, seperti sebuah lukisan yang telah selesai. Semua menjadi tenang dan damai, seperti sebuah hari yang baru telah dimulai.
Gandi dan pemilik perahu yang sedang berlindung di gubuk terkejut dengan perubahan cuaca yang cepat itu. Mereka berdua saling menatap dengan rasa heran dan khawatir.
“Apa yang terjadi?” tanya Gandi dengan suara yang heran. “Cuaca tiba-tiba membaik seperti semula!”
Pemilik perahu menggelengkan kepala dengan rasa kebingungan. “Saya tidak tahu, tapi saya rasa ini sangat aneh. Saya harap Saga tidak terkena dampak buruk dari cuaca ini.”
Gandi mengangguk dengan rasa khawatir. “Ya, saya juga khawatir tentang Saga. Mari kita keluar dari gubuk ini dan mencari tahu apa yang terjadi.”
Keduanya keluar dari gubuk dan melihat ke sekitar, mencari tahu apa yang terjadi dengan Saga. Mereka tidak tahu bahwa Saga sudah keluar dari pohon Dewandaru dan telah memiliki kekuatan yang sangat besar dari tombak Kyai Pleret. Mereka hanya berharap bahwa Saga selamat dan tidak terkena dampak buruk dari perubahan cuaca yang tiba-tiba itu.
Setelah memastikan cuaca membaik, Saga bersama Gandi berlayar menuju Pulau Untung Jawa, melalui laut yang biru dan tenang. Perjalanan laut yang relatif singkat membuat mereka tiba di Pulau Untung Jawa dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Saat mereka berlabuh di pantai Pulau Untung Jawa, Saga merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di pulau ini. Dia bisa merasakan bahwa ada energi yang tidak biasa di sekitar pulau ini, seperti sebuah getaran yang tidak terlihat. Energi itu membuat bulu kuduknya berdiri dan hatinya terasa berdebar.
Gandi dan pemilik perahu juga merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di pulau ini. Mereka berdua saling menatap dan kemudian memandang ke arah Saga. “Apa yang terjadi, Saga?” tanya Gandi dengan suara yang lembut dan khawatir. “Kamu merasakan sesuatu yang tidak beres di pulau ini, bukan?”
Saga mengangguk dengan rasa penasaran yang mendalam. “Ya, aku merasakan ada energi yang tidak biasa di sekitar pulau ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini.”
Pemilik perahu, yang juga warga setempat, menawarkan Saga dan Gandi meninap di rumahnya. Rumah itu sebuah bilik yang sederhana, dengan dinding yang terbuat dari bambu dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Rumah itu terletak di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan suara burung dan serangga yang mengiringi malam hari.
Bilik itu hanya memiliki beberapa perabotan yang sederhana, seperti tikar dan beberapa bantal, tapi itu sudah cukup untuk membuat Saga dan Gandi merasa nyaman dan aman. Meskipun bilik sederhana, lokasinya sangat indah, terletak di tepi pantai pasir putih, dengan rangkaian pepohonan rimbun yang hijau dan segar.
Suara ombak yang menghantam pantai dan angin yang sejuk membuat suasana menjadi sangat tenang dan damai. Saga dan Gandi merasa sangat nyaman dan tenang saat berada di rumah itu. Mereka bisa merasakan keindahan alam yang masih alami dan belum terjamah oleh modernisasi.
Pulau Untung Jawa sendiri sangat indah dan masih alami. Pantai pasir putih yang indah dan rangkaian pepohonan rimbun yang hijau dan segar membuat pulau ini menjadi seperti surga. Jumlah penduduk di pulau ini juga sangat sedikit, hanya sekitar seratus jiwa. Saga dan Gandi merasa sangat beruntung bisa menginjakkan kaki di pulau yang indah ini.
Rumah-rumah penduduk di pulau ini juga terlihat masih berjarak jauh satu dengan lainnya, Saga dan Gandi merasa sangat nyaman dan tenang saat berjalan-jalan di sekitar pulau ini. Namun, ada satu bangunan yang berbeda dengan lainnya di Pulau Untung Jawa.
Ya, itu adalah rumah Amrudin dan istrinya, Siti Hajar. Rumah mereka terlihat lebih besar dan lebih megah dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya di pulau ini. Rumah itu terlihat seperti sebuah istana kecil di tengah-tengah pulau yang indah. Saga dan Gandi merasa penasaran tentang rumah itu dan siapa yang tinggal di dalamnya.
Rumah Amrudin dan Siti Hajar terlihat sangat megah dan indah. Rumah itu terbuat dari kayu yang kuat dan memiliki atap yang terbuat dari genteng tanah liat. Jendela-jendela rumah mereka terbuat dari kaca yang jernih dan memiliki pintu yang terbuat dari kayu yang kuat.
Taman di sekitar rumah mereka juga terlihat rapi, dengan berbagai jenis bunga dan tanaman yang hijau dan segar. Saga dan Gandi hanya dapat melihat rumah Amrudin dan Siti Hajar dari jauh, tapi mereka bisa merasakan keindahan dan keanggunan rumah itu.
Namun, tiba-tiba Saga ditegur dengan tidak sopan oleh Abdul Wahab, yang mencurigai Saga adalah mata-mata perampok. “Hey, kamu! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Abdul Wahab dengan suara yang kasar dan mencurigakan.
Saga terkejut dengan pertanyaan Abdul Wahab, tapi dia tidak ingin membuat keributan. “Saya hanya seorang pelancong, Pak,” jawab Saga dengan suara yang sopan dan tenang.
Tapi, Abdul Wahab tidak percaya. “Jangan bohong! Kamu pasti mata-mata perampok!” teriak Abdul Wahab dengan suara yang keras dan penuh dengan kecurigaan. Wajahnya terlihat merah dan marah, membuat Saga merasa tidak nyaman.
Saat itu, Nurmala yang sedang berdua dengan Abdul Wahab di pinggir pantai menimpali kecurigaan Wahab. “Ya, benar! Dia pasti mata-mata perampok!” kata Nurmala dengan suara yang tinggi dan penuh dengan semangat. “Kita tidak bisa mempercayai orang asing seperti dia!”
Namun, dalam hati Nurmala tertarik dengan kegagahan dan ketampanan Saga. Dia tidak bisa menyangkal bahwa Saga memiliki aura yang kuat dan menarik. Nurmala merasa sedikit bingung dengan perasaannya sendiri, karena dia tidak tahu mengapa dia merasa tertarik dengan Saga.
Saat Wahab terus memaki Saga, Nurmala mencoba untuk mengalihkan perhatian Wahab. “Wahab, sudahlah. Janganlah kamu terlalu keras pada dia,” kata Nurmala dengan suara yang manis dan lembut. “Mungkin benar, dia hanya pelancong.”
Tapi, Wahab tidak mau mendengarkan. Dia terus memaki Saga dengan kata-kata yang kasar dan penuh dengan kebencian. Nurmala merasa sedikit kesal karena Wahab tidak mau mendengarkan padanya. Dia merasa bahwa Wahab terlalu emosional dan tidak bisa berpikir jernih.
Wahab terus memaki Saga dengan kata-kata yang kasar, tapi Saga tidak membalas. Dia hanya memandang Wahab dengan mata yang tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Ekspresi wajah Saga tetap tenang, seolah-olah dia tidak terganggu oleh kata-kata kasar Wahab. Saga mempertahankan kesabaran dan ketenangannya, tidak mau terpancing oleh emosi Wahab.
Gandi tersenyum, menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Dia tahu bahwa Saga tidak memerlukan bantuan, tapi dia juga tidak ingin Saga terluka. Gandi memiliki keyakinan yang kuat bahwa Saga dapat menghadapi situasi ini dengan baik.
“Hey, tenanglah. Saya tidak ingin berkelahi dengan kamu,” kata Saga dengan suara yang tenang dan lembut. Saga berusaha untuk menenangkan Wahab, tapi Wahab tidak mau mendengarkan. Pria itu semakin marah merasa diremehkan.
“Aku pikir aku takut padamu? Aku akan membunuhmu!” teriak Wahab dengan suara yang keras dan penuh dengan kebencian. Wahab tidak bisa mengontrol emosinya lagi, dan dia memutuskan untuk menyerang Saga.
Dengan marahnya, Wahab tiba-tiba mencabut golok dan menebas tubuh Saga. Tapi, apa yang terjadi? Golok terpental hingga patah dan Wahab tersungkur muntah darah. Kejadian itu terjadi sangat cepat, dan Gandi serta Nurmala tidak bisa percaya apa yang mereka lihat.
Gandi dan Nurmala terkejut melihat kejadian itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, tapi mereka tahu bahwa Saga tidak melakukan apa-apa untuk melawan Wahab. Mereka berdua saling menatap, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Wajah mereka terlihat penuh dengan keheranan dan kebingungan.
Ternyata, ajian Tameng Waja yang dimiliki oleh Saga bereaksi secara otomatis meski tanpa dikendalikan oleh Saga. Ajian ini sangat sensitif bila Saga terancam bahaya, dan akan bereaksi dengan menimbulkan aura panas yang sangat kuat. Ajian Tameng Waja adalah salah satu ajian yang paling kuat yang dimiliki oleh Saga.
Apalagi saat ini, Saga telah menguasai ajian Tameng Waja tingkat sempernu setelah menelan getah pohon Dewandaru. Ajian ini membuat Saga menjadi sangat kuat dan tidak bisa dilukai oleh serangan fisik biasa. Saga telah mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam menguasai ajian Tameng Waja.
Pria itu yang tidak tahu apa yang terjadi hanya bisa muntah darah dan tersungkur ke tanah. Gandi dan Nurmala terkejut melihat kejadian itu, dan mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka berdua saling menatap, mencoba untuk memahami apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Nurmala teriak histeris dan menuduh Saga akan mencelakai Wahab. “Kamu akan membunuhnya! Kamu akan membunuh Wahab!” teriak Nurmala dengan suara yang tinggi dan penuh dengan kepanikan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Wahab telah dikalahkan oleh Saga.
Tapi, warga yang melihat kejadian itu tidak percaya pada Nurmala. Mereka tahu bahwa Wahab adalah antek penjajah yang selalu memeras warga dan berbuat onar. “Alhamdulillah, akhirnya ada orang yang mampu mengalahkan Wahab!” kata seorang warga dengan suara yang lega dan bahagia.
Warga lainnya juga mengeluarkan pernyataan yang sama, mereka merasa lega dan bahagia karena Wahab telah dikalahkan. Mereka berharap bahwa kejadian ini akan menjadi awal dari perubahan yang lebih baik bagi mereka.
“Benar, dia selalu memeras kita dan berbuat onar. Kita sudah muak dengan dia!” kata warga lainnya dengan suara yang keras dan penuh dengan kemarahan. Warga lainnya juga bergabung dalam mengutuk Wahab, mengungkapkan perasaan lega dan bahagia karena Wahab telah dikalahkan.
Sementara itu, Wahab masih terkapar dan dipapah oleh tiga anak buahnya. Nurmala masih teriak histeris dan mencoba untuk memfitnah Saga, tapi warga tidak percaya padanya. Mereka tahu bahwa Saga adalah orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan.
Amirudin, pemuka masyarakat Pulau Untung Jawa, menghampiri Saga dengan wajah yang serius. “Assalamualaikum, anak muda,” kata Amirudin dengan suara yang lembut dan hormat. “Saya Amirudin, pemuka masyarakat Pulau Untung Jawa. Saya ingin tahu, siapa kamu dan apa tujuanmu ke pulau kami?”
Saga memandang Amirudin dengan bingung. “Saya… saya tidak tahu siapa Bapak,” kata Saga dengan suara yang pelan dan ragu-ragu. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Amirudin.
Pemilik perahu yang berdiri di samping Saga menimpali. “Ah, anak muda ini tidak tahu siapa Pak Amirudin,” kata pemilik perahu dengan suara yang ramah dan membantu. “Pak Amirudin adalah pemuka masyarakat Pulau Untung Jawa, orang yang sangat dihormati dan disegani di pulau ini.”
Pemilik perahu melanjutkan, “Pak Amirudin adalah orang yang bijaksana dan adil. Dia selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat Pulau Untung Jawa dan menjaga keamanan dan ketertiban di pulau ini.”
Amirudin tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pak,” kata Amirudin dengan suara yang lembut dan hormat. “Saya hanya ingin mengetahui siapa anak muda ini dan apa tujuanmu ke pulau kami.”
Saga mengangguk sopan. “Oh, saya minta maaf, Pak Amirudin. Saya tidak tahu siapa Bapak sebelumnya.” Dengan demikian, Saga menunjukkan sikap yang hormat dan sopan kepada Amirudin.
Amirudin tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, anak muda. Saya ingin tahu, apa tujuanmu ke pulau kami?” Amirudin menunjukkan minat yang besar terhadap tujuan Saga, dan matanya bersinar dengan rasa penasaran.
Kerendahan Hati Sang Utusan
Namun, Amirudin terkejut saat mendengar bahwa Saga adalah utusan Sultan Demak. “Benar-benar…?” katanya dengan nada yang tidak percaya, matanya memandang Saga dengan penuh keheranan. Amirudin tidak bisa membayangkan bahwa pemuda berusia tidak lebih dari 17 tahun dengan pakaian sederhana seperti itu adalah utusan dari kesultanan yang berkuasa.
Saga mengangguk dengan sopan. “Ya, Pak Amirudin. Saya mendapat tugas dari Sultan Demak untuk membantu menyelesaikan masalah di pulau-pulau penduduk di Kepulauan Seribu.” Saga menjelaskan tujuannya dengan jelas dan sopan, tanpa sedikit pun kesombongan.
Amirudin memandang Saga dengan mata yang lebar, seperti tidak percaya apa yang dia dengar. “Subhanallah…,” katanya dengan nada yang kagum, mengungkapkan kekagumannya terhadap Saga.
Gandi masih tersenyum saat menimpali dan sedikit melebih-lebihkan kemampuan Saga. “Ah, Pak Amirudin, kamu tidak tahu siapa Saga sebenarnya. Dia bukan hanya utusan Sultan Demak, tapi juga seorang ahli ilmu agama, pencak silat, dan ilmu kebatinan yang sangat hebat.” Gandi menunjukkan kebanggaan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang penuh semangat.
Amirudin memandang Gandi dengan mata yang penasaran, seolah ingin memastikan kebenaran kata-kata Gandi. “Benar-benar? Kamu tidak berbohong, kan?” Amirudin menunjukkan keraguan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang sedikit skeptis.
Gandi mengangguk dengan serius, menegaskan bahwa kata-katanya bukanlah kebohongan. “Tidak, Pak Amirudin. Saya tidak berbohong. Saga memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Dia dapat mengalahkan lawan-lawannya dengan mudah, dan juga memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu agama dan kebatinan.” Gandi menjelaskan kemampuan Saga dengan detail dan penuh keyakinan.
Saga sendiri tersenyum dan menggelengkan kepala, menunjukkan sikap yang rendah hati dan tidak mau dipuji berlebihan. “Gandi, jangan berbohong. Saya tidak sehebat itu.” Saga berbicara dengan nada yang pelan dan sopan.
Namun, Gandi tidak peduli dengan kata-kata Saga. Dia terus melebih-lebihkan kemampuan Saga, membuat Amirudin dan warga lainnya semakin terkesan dan penasaran dengan kemampuan Saga. Gandi tersenyum dengan puas, melihat bagaimana warga mulai memandang Saga dengan penuh harapan dan kekaguman.
Amirudin menawarkan Saga dan Gandi untuk menginap di rumahnya dengan keramahan dan kebaikan hati. “Silakan, anak-anak muda. Kamu bisa menginap di rumah saya. Saya akan bercerita tentang masalah yang dihadapi warga kami selama ini.”
Saga dan Gandi menerima tawaran Amirudin dan mengikuti dia ke rumahnya. Setelah mereka duduk, Amirudin mulai bercerita dengan wajah yang serius. “Kami memiliki masalah besar di sini. Ada seorang perampok yang berada di Pulau Onrust. Dia dan anak buahnya telah membuat kami menderita selama bertahun-tahun.”
Amirudin berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang penuh dengan kesedihan. “Mereka memeras kami, memaksa kami membayar upeti kepada mereka. Mereka juga telah mengambil banyak harta benda kami, bahkan anak-anak kami.” Amirudin menunduk, tidak bisa melanjutkan karena terharu.
Saga dan Gandi mendengarkan cerita Amirudin dengan wajah yang serius, mata mereka memandang Amirudin dengan penuh empati. Mereka tidak bisa membayangkan betapa menderitanya warga di sini. Mereka saling menatap, dan Saga mengangguk dengan pelan, menunjukkan bahwa dia siap untuk membantu.
Saat senja mulai menyapa, suasana di luar rumah Amirudin mulai berubah. Warna oranye memancar di langit, dan warga yang masih menunggu di luar rumah Amirudin mulai berbisik-bisik. Mereka penasaran dengan Saga dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Saga mengangguk sopan. “Oh, saya minta maaf, Pak Amirudin. Saya tidak tahu siapa Bapak sebelumnya.” Dengan demikian, Saga menunjukkan sikap yang hormat dan sopan kepada Amirudin.
Amirudin tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, anak muda. Saya ingin tahu, apa tujuanmu ke pulau kami?” Amirudin menunjukkan minat yang besar terhadap tujuan Saga, dan matanya bersinar dengan rasa penasaran.
Namun, Amirudin terkejut saat mendengar bahwa Saga adalah utusan Sultan Demak. “Benar-benar…?” katanya dengan nada yang tidak percaya, matanya memandang Saga dengan penuh keheranan. Amirudin tidak bisa membayangkan bahwa pemuda berusia tidak lebih dari 17 tahun dengan pakaian sederhana seperti itu adalah utusan dari kesultanan yang berkuasa.
Saga mengangguk dengan sopan. “Ya, Pak Amirudin. Saya mendapat tugas dari Sultan Demak untuk membantu menyelesaikan masalah di pulau-pulau penduduk di Kepulauan Seribu.” Saga menjelaskan tujuannya dengan jelas dan sopan, tanpa sedikit pun kesombongan.
Amirudin memandang Saga dengan mata yang lebar, seperti tidak percaya apa yang dia dengar. “Subhanallah…,” katanya dengan nada yang kagum, mengungkapkan kekagumannya terhadap Saga.
Gandi masih tersenyum saat menimpali dan sedikit melebih-lebihkan kemampuan Saga. “Ah, Pak Amirudin, kamu tidak tahu siapa Saga sebenarnya. Dia bukan hanya utusan Sultan Demak, tapi juga seorang ahli ilmu agama, pencak silat, dan ilmu kebatinan yang sangat hebat.” Gandi menunjukkan kebanggaan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang penuh semangat.
Amirudin memandang Gandi dengan mata yang penasaran, seolah ingin memastikan kebenaran kata-kata Gandi. “Benar-benar? Kamu tidak berbohong, kan?” Amirudin menunjukkan keraguan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang sedikit skeptis.
Gandi mengangguk dengan serius, menegaskan bahwa kata-katanya bukanlah kebohongan. “Tidak, Pak Amirudin. Saya tidak berbohong. Saga memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Dia dapat mengalahkan lawan-lawannya dengan mudah, dan juga memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu agama dan kebatinan.” Gandi menjelaskan kemampuan Saga dengan detail dan penuh keyakinan.
Saga sendiri tersenyum dan menggelengkan kepala, menunjukkan sikap yang rendah hati dan tidak mau dipuji berlebihan. “Gandi, jangan berbohong. Saya tidak sehebat itu.” Saga berbicara dengan nada yang pelan dan sopan.
Namun, Gandi tidak peduli dengan kata-kata Saga. Dia terus melebih-lebihkan kemampuan Saga, membuat Amirudin dan warga lainnya semakin terkesan dan penasaran dengan kemampuan Saga. Gandi tersenyum dengan puas, melihat bagaimana warga mulai memandang Saga dengan penuh harapan dan kekaguman.
Amirudin menawarkan Saga dan Gandi untuk menginap di rumahnya dengan keramahan dan kebaikan hati. “Silakan, anak-anak muda. Kamu bisa menginap di rumah saya. Saya akan bercerita tentang masalah yang dihadapi warga kami selama ini.”
Saga dan Gandi menerima tawaran Amirudin dan mengikuti dia ke rumahnya. Setelah mereka duduk, Amirudin mulai bercerita dengan wajah yang serius. “Kami memiliki masalah besar di sini. Ada seorang perampok yang berada di Pulau Onrust. Dia dan anak buahnya telah membuat kami menderita selama bertahun-tahun.”
Amirudin berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang penuh dengan kesedihan. “Mereka memeras kami, memaksa kami membayar upeti kepada mereka. Mereka juga telah mengambil banyak harta benda kami, bahkan anak-anak kami.” Amirudin menunduk, tidak bisa melanjutkan karena terharu.
Saga dan Gandi mendengarkan cerita Amirudin dengan wajah yang serius, mata mereka memandang Amirudin dengan penuh empati. Mereka tidak bisa membayangkan betapa menderitanya warga di sini. Mereka saling menatap, dan Saga mengangguk dengan pelan, menunjukkan bahwa dia siap untuk membantu.
Saat senja mulai menyapa, suasana di luar rumah Amirudin mulai berubah. Warna oranye memancar di langit, dan warga yang masih menunggu di luar rumah Amirudin mulai berbisik-bisik. Mereka penasaran dengan Saga dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Di dalam rumah, Hajar menyambut Saga dengan keramahan dan kebaikan hati. “Anak muda, silakan minum dulu. Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang,” katanya sambil menyerahkan sebuah gelas berisi air hangat.
Saga tersenyum dan menerima gelas tersebut. “Terima kasih, Ibu. Saya memang sedikit lelah,” katanya sambil menyeruput air hangat tersebut. Saga menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Hajar dengan sopan.
Setelah itu, Amirudin bergabung dalam percakapan. “Baiklah, Nak Saga,” katanya. “Selepas shalat Magrib, kita akan sambung obrolan ini. Saya ingin tahu lebih banyak tentangmu, siapa kamu dan dari mana kamu asalnya.” Amirudin menunjukkan minatnya yang besar terhadap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa penasaran.
Saga mengangguk dengan sopan. “Baik, Pak Amirudin. Saya siap berbagi cerita tentang diri saya.” Saga menunjukkan kesediaannya untuk berbagi cerita tentang dirinya dengan nada yang ramah.
Hajar menambahkan dengan nada yang penasaran, “Saya juga ingin tahu, Nak Saga. Kamu tampaknya memiliki latar belakang yang sangat menarik.” Hajar menunjukkan rasa penasarannya terhadap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa ingin tahu.
Gandi, yang berada di samping Saga, tersenyum misterius. “Saya rasa Pak Amirudin dan Ibu Hajar akan sangat terkejut jika mereka tahu siapa sebenarnya Saga,” katanya dengan nada yang membuat penasaran. Gandi menambahkan kesan misterius terhadap Saga, membuat Amirudin dan Hajar semakin penasaran.
Amirudin dan Hajar saling memandang dengan mata yang penasaran. Mereka tidak sabar untuk mendengar cerita tentang Saga. Keduanya terlihat sangat ingin tahu lebih banyak tentang Saga, dan kesabaran mereka mulai menipis.
Setelah Saga dan Gandi selesai shalat Magrib, mereka kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan obrolan dengan Amirudin. Sementara itu, Hajar sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia bergumam kepada dirinya sendiri, “Dimana Nurmala? Sudah malam, belum pulang juga.” Hajar merasa kecewa dan khawatir terhadap Nurmala.
Hajar merasa sangat kecewa dengan sikap Nurmala. Dia telah berulang kali meminta Nurmala untuk pulang lebih awal, tapi Nurmala tidak pernah mendengarkan. “Anak itu tidak pernah memikirkan orang lain,” Hajar berbicara kepada dirinya sendiri dengan nada kesal dan kekecewaan.
Di ruang tamu, Amirudin bertanya kepada Saga tentang asal-usulnya dengan rasa penasaran yang besar. Namun, Saga hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Amirudin secara langsung. Dia menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi pertanyaan Amirudin.
Gandi mendengarkan percakapan mereka dengan sangat saksama, sementara Amirudin terlihat semakin penasaran dengan Saga. Gandi juga menunjukkan rasa penasarannya terhadap reaksi Amirudin.
Setelah beberapa saat, Saga tersenyum dan menjawab pertanyaan Amirudin. “Saya sebenarnya adalah warga Kepulauan Seribu, Pak Amirudin. Saya berasal dari Pulau Kelapa,” katanya dengan jelas dan sopan.
Amirudin terlihat terkejut. “Pulau Kelapa? Saya tidak pernah mendengar tentang kamu sebelumnya,” katanya dengan nada heran. “Apa yang membuat kamu meninggalkan Pulau Kelapa dan kemudian menjadi utusan Sultan Demak?” Amirudin menunjukkan rasa penasarannya terhadap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa ingin tahu.
Saga tersenyum lagi dan menjawab dengan sabar. “Itu adalah cerita panjang, Pak Amirudin. Mungkin saya bisa menceritakannya kepada Anda lain kali.” Saga menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi pertanyaan Amirudin, membuat Amirudin semakin penasaran dengan cerita Saga.
Gandi mendengarkan percakapan mereka dengan sangat saksama, sementara Amirudin terlihat sangat penasaran dengan Saga. Hajar, yang sedang menyiapkan makan malam di dapur, juga mendengarkan percakapan mereka dengan teliti.
Amirudin tersenyum dan mengatakan, “Saya memiliki kerabat jauh di Pulau Kelapa, Nak Saga. Namanya Sihun, dia adalah seorang tokoh agama dan masyarakat di Pulau Kelapa. Apakah kamu kenal dengan beliau?” Amirudin menunjukkan rasa penasarannya terhadap hubungan Saga dengan Sihun dengan mata yang bersinar dengan rasa ingin tahu.
Saga terlihat berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala. “Maaf, Pak Amirudin. Saya tidak kenal dengan Sihun secara pribadi. Namun, saya pernah mendengar nama itu dari ayah saya, yang mengatakan bahwa Sihun adalah kakek buyut saya, dari generasi ke empat.” Saga menjelaskan hubungannya dengan Sihun dengan jelas dan sopan.
Amirudin terlihat terkejut. “Kakek buyut? Generasi ke empat? Saya tidak mengerti, Nak Saga. Apa yang kamu maksud?” Amirudin menunjukkan rasa bingungnya terhadap hubungan Saga dengan Sihun dengan nada yang sedikit heran.
Saga tersenyum dan menjelaskan dengan sabar. “Saya… saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan jelas, Pak Amirudin. Saya hanya tahu bahwa saya berasal dari garis keturunan yang sama dengan Sihun, tapi saya tidak pernah bertemu dengan beliau.” Saga menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi pertanyaan Amirudin, membuat Amirudin semakin penasaran dengan cerita Saga.
Gandi terlihat terkejut dan tidak percaya. “Keturunan Sihun? Tidak mungkin!” katanya dengan nada yang tinggi. Gandi berbicara dengan penuh keheranan, seolah tidak bisa menerima kenyataan bahwa Saga adalah keturunan Sihun.
Saga tersenyum dan mengangguk dengan sopan. “Ya, Gandi. Saya adalah keturunan Sihun. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi saya tahu bahwa saya memiliki hubungan darah dengan beliau.” Saga menjelaskan hubungannya dengan Sihun dengan jelas dan sopan, tanpa sedikit pun kesombongan.
Gandi terlihat semakin terkejut. “Tapi… tapi bagaimana kamu bisa mengingat tentang dirimu sendiri? Kamu… kamu tidak bisa mengingat tentang apa-apa sebelumnya.” Gandi menunjukkan rasa bingungnya terhadap kemampuan Saga untuk mengingat tentang dirinya sendiri dengan nada yang sedikit heran.
Amirudin juga terlihat sangat heran dan bingung. “Tapi, Nak Saga, saya tidak mengerti. Jika kamu adalah keturunan ke empat Sihun, maka itu berarti Sihun sudah meninggal dunia beberapa generasi yang lalu,” katanya dengan nada yang penuh dengan rasa ingin tahu.
“Tapi, saya baru-baru ini mendengar kabar tentang Sihun yang masih hidup dan berada di Pulau Kelapa. Bagaimana ini bisa terjadi?” Amirudin menunjukkan rasa bingungnya terhadap situasi yang sedang terjadi dengan mata yang bersinar dengan rasa penasaran.
Saga terlihat tidak bisa menjawab pertanyaan Amirudin. Dia hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum. “Saya tidak tahu, Pak Amirudin. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi,” katanya dengan nada yang sopan dan jujur.
Gandi, yang berada di samping Saga, juga terlihat bingung. “Ya, Pak Amirudin, ini memang sangat aneh. Tapi, saya rasa kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang ini,” katanya dengan nada yang penasaran dan ingin tahu.
Amirudin menghela napas dan tersenyum. “Sudahlah, sebaiknya kita makan malam dulu. Saya semakin bingung dan penasaran tentang kamu, Nak Saga. Siapa sebenarnya kamu ini?” Amirudin menunjukkan rasa penasarannya terhadap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa ingin tahu.
Saga tersenyum dan mengangguk. “Baik, Pak Amirudin. Saya juga lapar. Mari kita makan malam dulu,” katanya dengan nada yang ramah dan sopan.
Hajar, yang sedang menyiapkan makan malam di dapur, memanggil mereka dengan suara yang hangat dan ramah. “Makan malam sudah siap! Silakan, Pak Amirudin, Nak Saga, dan Gandi!” Hajar menunjukkan keramahan dan kebaikan hatinya kepada mereka dengan senyum yang hangat.
Mereka semua berdiri dan menuju ke ruang makan dengan suasana yang hangat dan ramah. Amirudin masih terlihat bingung dan penasaran tentang Saga, tapi dia juga tersenyum dan siap untuk menikmati makan malam bersama mereka.
Tapak Naga Membelah Samudera
Saat mereka sedang makan malam, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah yang mengganggu suasana yang tenang. Suara itu adalah suara Ayub, orang tua Wahab, yang berteriak dengan lantang dan penuh kemarahan.
“Amirudin! Amirudin! Keluarlah dan serahkan anak itu kepada saya! Saya ingin menangkapnya!” Ayub berteriak dengan marah, membuat semua orang di dalam rumah terkejut.
Amirudin terlihat terkejut dan khawatir. Dia melihat ke arah Saga dan Gandi, yang tampak tenang dan tidak terganggu oleh suara Ayub. Sementara Hajar terlihat khawatir dan cemas, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Amirudin juga tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi yang tegang ini.
“Ayub, apa yang terjadi?” Amirudin berbicara dengan tenang dan sabar, mencoba untuk menenangkan situasi dan mengurangi ketegangan. Dengan demikian, Amirudin menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang tegang dan tidak terduga.
Ayub kembali berteriak dengan kemarahan yang memuncak. “Saya ingin menangkap anak itu! Dia telah membuat Wahab babak belur! Saya tidak akan membiarkannya bebas!” Ayub tidak mau mendengarkan alasan dari Amirudin dan hanya ingin menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Situasi menjadi semakin tegang, dan Amirudin harus berpikir cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Sementara itu, Saga dan Gandi ikut beranjak ke sumber suara, menyusul Amirudin untuk melihat apa yang terjadi.
Di depan rumah Amirudin, enam lelaki dengan pakaian seperti pendekar silat berdiri dengan bertolak pinggang, menunjukkan sikap yang keras dan menantang. Mereka semua terlihat memiliki kemampuan silat yang tinggi, tapi ada satu di antara mereka yang tampak memiliki kemampuan yang lebih tinggi lagi.
Lelaki itu bernama Ki Badri, dan dia terlihat memiliki aura yang lebih kuat dan lebih berpengalaman dibandingkan dengan yang lain. Matanya tajam dan terlihat seperti bisa melihat sampai ke dalam jiwa seseorang. Ki Badri menunjukkan kemampuan dan kekuatan yang sangat besar, membuat orang lain merasa takut dan hormat.
Ki Badri melangkah ke depan, dan Ayub yang berteriak sebelumnya berhenti dan membiarkan Ki Badri yang berbicara. Dengan demikian, Ki Badri menunjukkan kekuatan dan kontrol dalam situasi tersebut, membuat semua orang memperhatikan apa yang akan dia katakan selanjutnya.
Ki Badri berbicara dengan suara yang keras dan tegas, “Amirudin, kami datang untuk menangkap anak itu. Dia telah membuat Wahab babak belur, dan kami tidak akan membiarkannya bebas.” Ki Badri menunjukkan kemarahan dan keinginannya untuk menangkap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa marah.
Amirudin terlihat semakin khawatir. Dia tahu bahwa Ki Badri dan kawan-kawannya tidak bisa dianggap remeh, tapi dia juga tahu bahwa dia harus melindungi Saga. Amirudin mencoba menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang tegang, dengan harapan bisa menyelesaikan masalah ini dengan damai.
Ki Badri tersenyum sinis dan menghela napas. “Hah, anak kecil ini? Tidak ada apa-apanya. Ayub, jangan khawatir, saya akan membuatnya terkapar dalam setengah jurus.” Ki Badri menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan dan meremehkan kemampuan Saga dengan nada yang sombong.
Ayub tersenyum puas dan mengangguk. “Baik, Ki Badri. Saya percaya pada kemampuan Anda.” Ayub menunjukkan kepercayaannya pada Ki Badri dan keinginannya untuk menangkap Saga dengan nada yang antusias.
Ki Badri melangkah maju, dengan gerakan yang santai dan percaya diri. Dia tidak melihat apa-apa yang istimewa pada Saga, dan dia yakin bahwa dia bisa mengalahkannya dengan mudah. Ki Badri menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan dan meremehkan kemampuan Saga, membuat Amirudin dan yang lainnya merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Saga sendiri terlihat tenang dan tidak terganggu oleh kata-kata Ki Badri. Dia hanya memandang Ki Badri dengan mata yang tenang dan siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Saga menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang tegang, membuat Ki Badri semakin penasaran dengan reaksinya.
Amirudin berusaha mencegah keributan itu dengan mengangkat tangan dan berbicara dengan suara yang tenang. “Tunggu, Ki Badri! Janganlah kita membuat keributan di sini. Mari kita bicarakan masalah ini dengan cara yang lebih damai,” katanya dengan nada yang sabar dan bijak. Amirudin menunjukkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang tegang, berharap bisa menyelesaikan masalah ini dengan damai.
Namun, Ki Badri tidak mendengarkan Amirudin. Dia terus melangkah maju, dengan mata yang terfokus pada Saga. Ki Badri menunjukkan keinginannya untuk menangkap Saga dan tidak mau mendengarkan alasan dari Amirudin, membuat situasi semakin tegang.
Warga yang berada di luar rumah Amirudin juga khawatir tentang keselamatan Saga. Mereka berbisik-bisik dan saling memandang dengan khawatir, tidak ingin melihat Saga terluka. Mereka menunjukkan kekhawatiran mereka tentang keselamatan Saga dengan mata yang penuh kecemasan.
Sementara itu, Nurmala yang berada tidak jauh dari situ memandang Saga dengan mata yang penuh dendam. Dia masih memendam rasa marah kepada Saga karena membuat kekasihnya, Wahab, tidak sadarkan diri. Nurmala menunjukkan rasa dendamnya yang kuat terhadap Saga dengan mata yang bersinar dengan rasa marah.
Nurmala menggigit bibirnya dengan keras, berharap bahwa Ki Badri akan berhasil mengalahkan Saga dan memberinya hukuman yang setimpal. Nurmala menunjukkan keinginannya untuk melihat Saga menerima hukuman dengan mata yang penuh dendam.
Tiba-tiba, Basri, salah satu dari lima lelaki lainnya yang berdiri di samping Ki Badri, berteriak dengan suara yang keras. “Tunggu, Ki Badri! Biar kami yang kasih pelajaran ke anak muda tak tau diri ini!” Basri menunjukkan keinginannya untuk mengajarkan pelajaran kepada Saga dengan nada yang sombong.
Basri memiliki kumis tebal yang melintang di atas bibirnya, dan dia membawa golok di pinggangnya. Dia terlihat seperti seorang yang berpengalaman dalam pertarungan, dan dia memiliki aura yang menakutkan. Basri menunjukkan keberaniannya dan kemampuan bertarungnya dengan percaya diri.
“Biarkan saya sendiri yang mengasih pelajaran!” kata Basri, sambil melangkah maju dan menatap Saga dengan mata yang keras. Basri menunjukkan kepercayaan dirinya yang kuat dan keinginannya untuk mengajarkan pelajaran kepada Saga dengan nada yang tegas.
Ki Badri terlihat sedikit terkejut dengan tindakan Basri, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya memandang Basri dengan mata yang tajam, seolah-olah dia sedang menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan Basri. Ki Badri menunjukkan kesabaran dan ketenangannya dalam menghadapi situasi tersebut dengan mata yang tenang.
Saga memandang Basri dengan mata yang tenang, tapi juga siap untuk menghadapi tantangan. “Baiklah, saya akan melayani tantanganmu,” kata Saga, sambil meminta Amirudin untuk mundur. Saga menunjukkan kesabaran dan ketenangannya dalam menghadapi tantangan dari Basri dengan nada yang sopan.
Basri tersenyum sombong, sambil mengangkat goloknya. “Hah, anak kecil ini pikir bisa mengalahkan saya? Saya akan membuatmu terkapa dalam satu jurus!” Basri menunjukkan kepercayaan dirinya yang kuat dan keinginannya untuk mengalahkan Saga dengan nada yang sombong.
Basri melangkah maju, dengan gerakan yang cepat dan agresif. Dia menggunakan jurus “Harimau Mengamuk” untuk menyerang Saga dengan kekuatan penuh. Basri menunjukkan kemampuan bertarungnya yang kuat dan agresif dengan gerakan yang cepat dan tepat.
Saga tidak terkejut dengan serangan Basri. Dia menggunakan jurus “Sisik Naga Laut Menggeliat” untuk menghindari serangan Basri dengan mudah, dan kemudian membalas dengan jurus “Tendangan Elang Menukik” yang dipadu dengan Ajian Saipi Angin. Saga menunjukkan kemampuan bertarungnya yang sangat baik dengan gerakan yang cepat dan tepat.
Tendangan Saga yang cepat dan kuat, dipadu dengan kekuatan angin yang mendorongnya, membuat Basri tidak bisa menghindar. Dia terkena tendangan Saga dan langsung terjatuh ke tanah, dengan darah yang mengalir dari mulutnya. Basri menunjukkan kelemahannya dalam menghadapi serangan Saga dengan kejutan dan kesakitan.
Basri berusaha untuk bangun, tapi dia tidak bisa. Dia langsung pingsan, dengan goloknya yang terlempar jauh dari tangannya. Keadaan Basri membuat Ki Badri dan lelaki-lelaki lainnya terkejut dan kaget.
Mereka tidak percaya bahwa Saga bisa mengalahkan Basri dengan hanya menggunakan dua jurus yang sangat kuat. Mereka menunjukkan kekagetan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan Saga dengan mata yang terbuka lebar dan wajah yang penuh keheranan.
Ki Badri marah dan berteriak kepada lelaki-lelaki lainnya untuk menyerang Saga secara bersama-sama. “Serang dia! Jangan biarkan dia menghina kita!” teriak Ki Badri dengan suara yang keras dan marah. Ki Badri menunjukkan kemarahannya dan keinginannya untuk mengalahkan Saga dengan nada yang tegas.
Empat lelaki berperawakan tinggi besar maju secara bersamaan, dengan wajah yang marah dan golok yang terangkat. Mereka bergerak dengan cepat, tapi tidak siap untuk menghadapi kecepatan dan kekuatan Saga. Mereka menunjukkan kelemahannya dalam menghadapi serangan Saga dengan gerakan yang tidak terkoordinasi.
Dengan satu gerakan cepat yang dilakukan Saga, menggunakan jurus “Usapan Awan Jingga”, jurus ke-16 dari 17 jurus Betsi miliknya, empat lelaki itu hanya bisa selangkah maju dan setelahnya mematung. Mereka tidak bisa bergerak lagi, seperti patung yang terbuat dari batu. Saga menunjukkan kemampuan bertarungnya yang sangat baik dengan gerakan yang cepat dan tepat.
Jurus “Usapan Awan Jingga” adalah salah satu jurus utama dari 17 jurus Betsi yang sangat sulit dikuasai. Saga baru saja menguasai jurus ke-16 ini, dan dia menggunakan jurus ini untuk melumpuhkan empat lelaki itu dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa.
Jurus ini mengandalkan kecepatan dan usapan ke titik vital lawan, sehingga lawan tidak mampu lagi bergerak. Jurus ini mirip dengan jurus totokan, yang sangat efektif untuk melumpuhkan lawan dengan cepat dan tepat.
Ki Badri, Ayub, dan bahkan Amirudin terperanjat melihat kejadian itu. Mereka tidak percaya bahwa Saga bisa mengalahkan empat lelaki sekuat itu dengan hanya satu gerakan. Mereka menunjukkan kekagetan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan Saga dengan mata yang terbuka lebar dan wajah yang penuh keheranan.
Saga tidak mau menyakit mereka, karena dia tahu bahwa esok dia akan memiliki tugas yang lebih berat, yaitu memerangi perompak di Pulau Onrust. Dia berharap bahwa orang-orang ini, termasuk Ki Badri, mau bersama-sama dengan dia memerangi perompak itu. Saga menunjukkan kebaikan hatinya dan keinginannya untuk bekerja sama dengan orang lain dengan nada yang sopan dan bijak.
“Ki Badri, Pak Ayub, dan kawan-kawan,” kata Saga dengan suara yang tenang dan sopan. “Saya tidak ingin menyakit kalian. Esok, saya akan memerangi perompak di Pulau Onrust.
Saya berharap kalian mau bersama-sama dengan saya memerangi mereka. Mari kita bekerja sama untuk mengalahkan perompak itu dan menjaga keamanan di daerah ini.” Saga menunjukkan kebaikan hatinya dan keinginannya untuk bekerja sama dengan orang lain dengan nada yang tegas dan bijak.
Ki Badri tidak mau mendengar ajakan Saga. Dia jumawa akan bisa mengalahkan Saga dengan mudah. “Saya tidak perlu bantuanmu, anak kecil!” teriak Ki Badri dengan suara yang keras dan sombong. “Saya akan mengalahkanmu sendirian!” Ki Badri menunjukkan kesombongannya dan kepercayaan dirinya yang berlebihan, membuat Saga tetap tenang dan siap untuk menghadapi tantangan.
Saga memandang Ki Badri dengan mata yang tenang dan sabar. Dia tahu bahwa Ki Badri memiliki kesaktian yang tinggi, tapi dia tidak takut. Dia siap untuk menghadapi Ki Badri dengan segala kemampuan yang dia miliki, dan dia yakin bahwa dia bisa mengalahkan Ki Badri. Saga menunjukkan kesabaran dan ketenangannya dalam menghadapi situasi yang tegang.
Pertempuran antara Saga dan Ki Badri pun dimulai. Ki Badri menggunakan jurus-jurus yang sangat kuat dan cepat, tapi Saga berhasil menghindari dan membalas dengan jurus-jurus yang tidak kalah kuat dan tepat. Mereka berdua menunjukkan kemampuan bertarung yang sangat baik, dengan gerakan yang cepat dan tepat.
Tapi, Ki Badri ternyata memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Dia berhasil menyerang Saga dengan jurus yang sangat kuat dan dahsyat, sehingga Saga terpaksa mengeluarkan Ajian Tameng Waja untuk melindungi dirinya dari serangan yang sangat kuat itu. Ajian Tameng Waja berhasil melindungi Saga dari serangan Ki Badri, tapi Ki Badri tidak menyerah.
Ki Badri terus menyerang Saga dengan jurus-jurus lainnya yang tidak kalah kuat dan cepat. Dia tidak mau kalah dan ingin membuktikan bahwa dia adalah yang terkuat. Ki Badri menunjukkan kesombongannya dan kepercayaan dirinya yang berlebihan, membuat Saga semakin bersemangat untuk mengalahkannya.
Saga pun terpaksa mengeluarkan pukulan mematikan yang sangat dahsyat, bernama “Tapak Naga Membelah Samudera”. Pukulan ini sangat berbahaya dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Lawan akan terpental jauh meski hanya terkena debaran anginnya saja, sehingga Saga hanya menggunakan pukulan ini dalam situasi yang sangat genting.
Saga sebenarnya tidak ingin menggunakan pukulan ini, tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Dia harus menghentikan Ki Badri sebelum dia menyebabkan kerusakan yang lebih besar dan membahayakan orang lain. Saga memutuskan untuk menggunakan pukulan mematikan ini untuk menghentikan Ki Badri.
“Tapak Naga Membelah Samudera” milik Saga membuat Ki Badri terkejut dan nyali Ki Badri sontak menciut. Lelaki tua ini menyadari bahwa dia tidak bisa mengalahkan Saga dan memutuskan untuk menyerah. Ki Badri meminta kepada Saga untuk menghentikan serangannya.
“Sudah anak muda, aku mengaku menyerah,” ucap Ki Badri dengan nada yang lemah dan pasrah.
Dengan kekalahan Ki Badri, Saga berhasil menghentikan ancaman yang membahayakan Pulau Untung Jawa. Tapi, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Saga.
Bagaimana kelanjutan Saga membebaskan prahara Pulau Untung Jawa? Nantikan kisah Sagara Sang Panglima Samudera di Bab 6: Menumpas Angkara Murka
[poll id=”2″]









