“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 10: Mendung di Pulau Tidung
Sang surya masih bertengger tinggi di langit, menebarkan sinarnya yang menembus rimbun dedaunan. Cahaya itu bermain-main di atas pasir putih yang seakan bercanda dengan gulungan ombak kecil. Aroma laut bercampur angin pesisir, membelai wajah dua insan yang tengah bertolak dari perahu kayu mereka.
“Naya, kita sudah sampai. Kita harus segera ke tempat Manik Kaca Pandita berada,” bisik seorang pemuda gagah. Pakaian putihnya membalut tubuh tegap, sementara ikat kepala dan pinggang merahnya berkibar lembut ditiup angin laut.
Dengan jemari kokohnya, ia mengusap rambut hitam lembut sang kekasih yang masih bersandar di pangkuannya. Ada kelembutan dalam sorot matanya, seakan ingin membangunkan bidadari yang tengah terlelap.
“Maaf kak, aku ketiduran. Kakak pasti lelah, sementara aku tertidur pulas,” ucap wanita cantik berselendang ungu. Suaranya lembut, seperti alunan seruling di lembah sunyi. Binarnya bak embun pagi yang disinari mentari fajar, jernih dan menenangkan.
Perahu itu akhirnya merapat di dermaga Pulau Tidung. Saga, sang pemuda gagah, mulai membenahi perbekalan yang mereka bawa dari Pulau Untung Jawa. Bersama Nayaka Sari, wanita yang kini telah menjadi pendamping hidupnya, ia melangkah menuju tanah yang menyimpan takdir baru.
“Saga, Naya, naiklah ke dermaga. Aku akan tambatkan perahu ini dulu,” ujar Hasanudin, pemuda baik hati yang ditugaskan mengantar mereka.
“Di pulau ini terdapat Perguruan Silat Elang Putih, mereka kalangan dari kelompok baik-baik. Semoga mereka dapat membantu tugasmu menemukan benda yang kau cari, Saga,” tambahnya.
Terik matahari siang itu terasa menyengat. Saga dan Nayaka berlari ke bawah pohon besar, mencari teduh, melepas lelah, dan membuka perbekalan.
“Makanlah, Naya. Kakak belum lapar,” ujar Saga, menyodorkan sebungkus nasi putih berbalut daun pisang.
Namun, baru saja Nayaka hendak menerima bungkusan itu, tiba-tiba angin berdesir dengan kecepatan tinggi. Ada sesuatu yang bergerak menuju mereka—sebuah serangan tersembunyi!
Saga hanya mengibaskan satu tangan. Wush! Angin itu berbalik ke asalnya dengan kekuatan berlipat ganda.
“BRAAAAAAK!”
Salah satu dari empat pria yang mengintai mereka terpental jauh ke belakang. Sementara tiga lainnya masih berdiri, terperangah, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Naya, kamu tidak apa-apa?” Saga berdiri membelakangi istrinya, matanya tajam menatap lawan yang belum dikenalnya.
Nayaka Sari hanya tersenyum kecil. Matanya menatap suaminya penuh keyakinan. “Suamiku pendekar pilih tanding, serangan culas itu tak berarti,” ucapnya lirih, menghangatkan hati Saga.
Saga menatap keempat pria berpakaian putih dengan ikat kepala hitam. Di dada mereka tersemat gambar kepala burung elang.
“Siapa kalian?! Kami datang dengan maksud baik!” suara Saga tegas menggema di udara.