“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 9: Dilema Sari Patih
Hembusan angin semakin liar, seperti napas alam yang tak terkendali, menerpa empat sosok manusia yang berdiri tegak di tengah rimbun pepohonan besar. Matahari pagi, malu-malu, menyusup lewat celah dedaunan, menyapa pasir putih Pulau Onrust yang masih perawan—seakan menolak untuk diganggu oleh kehadiran mereka. Keasrian pulau ini terasa seperti rahasia purba yang belum terjamah, sebuah dunia yang hanya ada dalam dongeng-dongeng lama.
Tawa Ki Badai Abu meledak bagai guntur di langit cerah, menusuk telinga dan mengoyak ketenangan hutan. Matanya tajam, penuh ejekan, tertuju pada seorang pemuda gagah dengan ikat kepala merah yang berdiri waspada.
Di sampingnya, seorang wanita setengah baya dengan dandanan mencolok—bibir merah menyala, wajah penuh polesan—tertawa renyah, matanya seperti mata elang yang siap mencabik mangsa. Tatapan dinginnya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu, Saga.
“Saga, kamu harus lebih waspada dengan wanita itu,” bisik Ratu Mayang Sari pelan, suaranya seperti angin yang menyelinap di antara daun-daun. “Di antara mereka bertiga, dia yang paling licik dan kejam.”
Saga hanya mengangguk singkat, matanya tetap fokus. “Baik, Ratu.”
“Hai bocah! Cepat serahkan cemeti itu! Jangan bengong kayak kambing ompong!” bentak Ki Badai Abu, suaranya menggelegar seperti badai yang menghantam tebing. Wajahnya yang rusak oleh bekas luka-luka tampak semakin garang, tubuhnya gemetar karena kesabaran yang mulai habis. Dia ingin merebut senjata pusaka peninggalan gurunya, Ki Jaga Baya, yang kini berada di tangan Saga.
Lelaki tua berpakaian putih—Ki Angin Putih, atau Mahesa Rana—berdiri tenang di belakangnya. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat hidup, namun sorot matanya tajam dan dingin. “Sabar, Badai. Ada sesuatu di diri anak muda ini,” katanya pelan, nada suaranya seperti angin yang membawa firasat buruk.
“Sudahlah, Kakang! Anak ini tidak ada apa-apanya. Paling dua tindak, dia sudah semaput,” sahut Ki Badai Abu dengan nada sombong, bibirnya menyeringai sinis.
Saga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski udara di sekitarnya semakin panas. “Maafkan saya, saya tidak bermaksud lancang. Saya kurang tahu kenapa Bapak-Bapak menghadang saya,” katanya sopan, namun di balik kata-katanya tersimpan keteguhan baja.
“Bocah, jangan banyak cakap! Segera bawa kemari cemeti itu!” bentak Ki Badai Abu lagi, suaranya seperti cambuk yang memecah udara. Ki Badai Abu—atau Saung Galing, nama lahirnya—dikenal sebagai tokoh persilatan yang temperamen kerasnya seperti api yang tak pernah padam.
“Cemeti ini adalah amanat dari Sultan Demak. Hanya kepada beliau saya akan menyerahkannya,” jawab Saga mantap, suaranya seperti palu yang memukul batu karang, tak bergeming sedikit pun.
Ki Badai Abu mendengus marah. Dengan gerakan cepat, dia melancarkan jurus pembuka, tinjunya berisi tenaga dalam yang mampu meretakkan batu. Namun, seperti bayangan yang tak bisa dipegang, Saga dengan mudah menghindar. Bahkan, dengan gerakan yang begitu halus namun kuat, Saga menangkap tangan Ki Badai Abu dan menggunakan momentumnya sendiri untuk melemparkannya ke belakang.