Kisah  

Dilema Sari Patih

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

 

Bab 9: Dilema Sari Patih

Hembusan angin semakin liar, seperti napas alam yang tak terkendali, menerpa empat sosok manusia yang berdiri tegak di tengah rimbun pepohonan besar. Matahari pagi, malu-malu, menyusup lewat celah dedaunan, menyapa pasir putih Pulau Onrust yang masih perawan—seakan menolak untuk diganggu oleh kehadiran mereka. Keasrian pulau ini terasa seperti rahasia purba yang belum terjamah, sebuah dunia yang hanya ada dalam dongeng-dongeng lama.

Tawa Ki Badai Abu meledak bagai guntur di langit cerah, menusuk telinga dan mengoyak ketenangan hutan. Matanya tajam, penuh ejekan, tertuju pada seorang pemuda gagah dengan ikat kepala merah yang berdiri waspada.

Di sampingnya, seorang wanita setengah baya dengan dandanan mencolok—bibir merah menyala, wajah penuh polesan—tertawa renyah, matanya seperti mata elang yang siap mencabik mangsa. Tatapan dinginnya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu, Saga.

Saga, kamu harus lebih waspada dengan wanita itu,” bisik Ratu Mayang Sari pelan, suaranya seperti angin yang menyelinap di antara daun-daun. “Di antara mereka bertiga, dia yang paling licik dan kejam.”

Saga hanya mengangguk singkat, matanya tetap fokus. “Baik, Ratu.”

“Hai bocah! Cepat serahkan cemeti itu! Jangan bengong kayak kambing ompong!” bentak Ki Badai Abu, suaranya menggelegar seperti badai yang menghantam tebing. Wajahnya yang rusak oleh bekas luka-luka tampak semakin garang, tubuhnya gemetar karena kesabaran yang mulai habis. Dia ingin merebut senjata pusaka peninggalan gurunya, Ki Jaga Baya, yang kini berada di tangan Saga.

Lelaki tua berpakaian putih—Ki Angin Putih, atau Mahesa Rana—berdiri tenang di belakangnya. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat hidup, namun sorot matanya tajam dan dingin. “Sabar, Badai. Ada sesuatu di diri anak muda ini,” katanya pelan, nada suaranya seperti angin yang membawa firasat buruk.

“Sudahlah, Kakang! Anak ini tidak ada apa-apanya. Paling dua tindak, dia sudah semaput,” sahut Ki Badai Abu dengan nada sombong, bibirnya menyeringai sinis.

Saga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski udara di sekitarnya semakin panas. “Maafkan saya, saya tidak bermaksud lancang. Saya kurang tahu kenapa Bapak-Bapak menghadang saya,” katanya sopan, namun di balik kata-katanya tersimpan keteguhan baja.

“Bocah, jangan banyak cakap! Segera bawa kemari cemeti itu!” bentak Ki Badai Abu lagi, suaranya seperti cambuk yang memecah udara. Ki Badai Abu—atau Saung Galing, nama lahirnya—dikenal sebagai tokoh persilatan yang temperamen kerasnya seperti api yang tak pernah padam.

“Cemeti ini adalah amanat dari Sultan Demak. Hanya kepada beliau saya akan menyerahkannya,” jawab Saga mantap, suaranya seperti palu yang memukul batu karang, tak bergeming sedikit pun.

Ki Badai Abu mendengus marah. Dengan gerakan cepat, dia melancarkan jurus pembuka, tinjunya berisi tenaga dalam yang mampu meretakkan batu. Namun, seperti bayangan yang tak bisa dipegang, Saga dengan mudah menghindar. Bahkan, dengan gerakan yang begitu halus namun kuat, Saga menangkap tangan Ki Badai Abu dan menggunakan momentumnya sendiri untuk melemparkannya ke belakang.

Ki Badai Abu terhuyung, nyaris jatuh, jika saja Ki Angin Putih tidak menahannya. “Ajian Tameng Waja…” gumam Ki Angin Putih, suaranya bergetar. Sorot matanya berubah tajam, seperti pisau yang baru diasah. “Bocah, apa hubunganmu dengan Mayang Sari? Ajiannya… aku sangat mengenalnya.”

“Cepat katakan, agar kau tidak menyesal,” tambah Ki Angin Putih, suaranya kini dingin seperti es yang membekukan darah.

“Dia… jangan-jangan anak Mayang Sari, Kakang!” timpal Nyai Tunjung Biru, matanya melebar karena terkejut. Gerakan Saga saat menghindar dan mengembalikan tenaga dalam Ki Badai Abu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang biasa.

Saga, mereka adalah kakak seperguruanku. Mereka memiliki kesaktian yang mungkin jauh lebih digdaya darimu,” bisik suara gaib Ratu Mayang Sari di telinga Saga. “Kamu harus lebih berhati-hati. Mereka adalah pengkhianat… pembunuh Guruku.”

*****

Dengan kata-kata yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua, Saga hendak bertanya tentang ketiga tokoh misterius itu. Namun, sebelum suaranya sempat terucap, udara di sekitarnya bergetar—tiga jarum terbang meluncur bak kilat, mengincar tubuhnya tanpa ampun.

Jarum-jarum itu bukan sembarang senjata, mereka adalah Jarum Pencabut Sukma, senjata rahasia Nyai Tunjung Biru yang legendaris. Jarum ini telah banyak memakan korban, bahkan gurunya sendiri, Ki Jaga Baya, tak berkutik setelah racunnya menyebar ke seluruh tubuh.

“Hiaaat!” Saga memutar tubuhnya dengan sigap, menghindari hujaman jarum yang melesat begitu cepat hingga nyaris tak terlihat. Gerakannya seperti bayangan yang meliuk-liuk di antara angin.

“Bisa juga kau, bocah! Mampu menghindari jarum-jarum milikku,” ejek Nyai Tunjung Biru, senyum licik masih menghiasi wajahnya.

Tapi wanita ini tidak berhenti di situ. Dengan gerakan kedua tangannya yang elegan namun mematikan, dia mendorong ke depan, menciptakan pusaran air yang berputar liar. Pusaran itu kemudian membentuk satu tangan astral raksasa, yang dengan kecepatan luar biasa menderu ke arah Saga.

“Rasakan Pukulan Ombak Biru, hai bocah nakal!” teriak Nyai Tunjung Biru, matanya berkilat penuh tantangan sambil tetap tersenyum genit kepada Saga.

Pukulan ini tampaknya mustahil dihindari. Setelah berhasil lolos dari jarum beracun, Saga kini terjebak dalam pusaran kekuatan yang mematikan. Dia tak bisa mundur, tapi juga tak bisa diam. Dengan semua instingnya, Saga mempraktikkan jurus ke-15 dari ‘Tapak Naga Samudera’, yaitu ‘Naga Menghalau Badai’. Tubuhnya bergerak seperti ombak yang melawan badai, menghindari serangan yang datang dari segala arah. Tak cukup sampai di situ, Saga langsung melanjutkan dengan jurus pamungkas dari Tapak Naga Samudera: ‘Naga Pembelah Samudera’.

“Iyaaaat! Hiaaaa!” Saga mengerahkan seluruh kekuatannya, memukul ke depan dengan energi yang memancar seperti dua bayangan naga raksasa.

Dua kekuatan dahsyat itu bertabrakan dengan ‘Pukulan Ombak Biru’, menciptakan ledakan yang menggoyangkan dahan-dahan pepohonan di sekitar arena pertarungan. Debu berterbangan, menyelimuti medan perang seperti kabut misterius.

Saga terpental beberapa langkah ke belakang, napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, Nyai Tunjung Biru tampak pucat, tangannya menahan dada yang terasa nyeri akibat benturan tenaga dalam. “Sepertinya anak ini ada hubungan erat dengan Mayang Sari, Kakang,” katanya sambil batuk-batuk, suaranya sedikit terengah-engah.

Namun, Saga juga tak luput dari dampaknya. Tenaga dalamnya masih dua tingkat di bawah Nyai Tunjung Biru, dan rasa nyeri yang luar biasa menjalar di dadanya. Belum sempat ia mempersiapkan diri untuk serangan berikutnya, satu mata tombak tajam sudah menghunus ke lehernya. Tombak panjang milik Ki Badai Abu menusuk-nusuk ke pusat-pusat vital tubuh Saga dengan kecepatan yang sulit diikuti mata telanjang.

Saga tak punya pilihan lain. Dengan cepat, ia meraih Cemeti Bondoyono yang melilit di pinggangnya. Begitu cemeti itu terangkat, sinar kebiruan keluar dari gagangnya, memberikan sensasi ringan dan energi murni yang mengalir deras ke tubuh Saga.

Ikuti lemaskan tubuhmu, ikuti gerakan cemeti ini,” bisik suara gaib Kurnala, salah satu sukma harimau yang bersemayam di dalam cemeti. Kurnala dan Kumbala, dua harimau legendaris yang sangat mengenal siapa Ki Angin Putih, Ki Badai Abu, dan Nyai Tunjung Biru, memilih untuk menahan diri karena janji mereka kepada Ki Jaga Baya. Namun, mereka tetap membimbing Saga dalam menggunakan kekuatan cemeti tersebut.

Cemeti berwarna kecokelatan itu berkelebat dengan kecepatan luar biasa, menangkis setiap tusukan tombak Ki Badai Abu. Pada kesempatan yang tepat, Saga memutarkan cemeti dengan kekuatan penuh, lalu menghantamkan ujungnya yang terbuat dari lempengan perak ke tubuh Ki Badai Abu.

“Aaaakh!” Ki Badai Abu menjerit histeris. Punggungnya tampak gosong, terbakar oleh kekuatan magis dari cemeti itu. Ia terhuyung ke belakang, wajahnya dipenuhi amarah dan rasa sakit.

“Badai!” seru Ki Angin Putih, yang langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Saga. Gulungan angin besar menderu-deru, menghantam Saga dengan kekuatan yang luar biasa. Tak hanya itu, secara bersamaan, Nyai Tunjung Biru juga melancarkan serangan ‘Ombak Mendobrak Karang’, sebuah pukulan mematikan yang menghantam Saga dari arah lain.

Dua kekuatan besar itu bergabung, menciptakan badai energi yang ganas. Saga tampak tak memiliki jalan keluar selain mengadu kesaktian yang dimilikinya.

“Duaaaaaar!” Ledakan keras menggema, membuat burung-burung berterbangan dan sejumlah pohon roboh berserakan. Saga terpental jauh ke belakang, bibirnya mengeluarkan darah segar. Cemeti Bondoyono terlepas dari genggamannya, tubuhnya limbung tak kuasa menahan dahsyatnya benturan dua pukulan itu. Ia jatuh bersimpuh di tanah, napasnya tersengal-sengal.

Saga… Saga… Saga…” Bisikan Ratu Mayang Sari terdengar lemah, penuh kekhawatiran. Sebagai arwah, ia hanya bisa menggigit bibirnya, tak mampu berbuat apa-apa untuk melindungi murid kesayangannya.

“Cepat duduk, Badai!” Ki Angin Putih mendorong kedua telapak tangannya ke punggung Ki Badai Abu, mencoba menetralkan racun cemeti dengan tenaga dalamnya. Di sisi lain, Nyai Tunjung Biru yang juga terkena dampak ledakan itu terhuyung lemah. Bibirnya mulai mengeluarkan darah, tanda bahwa ia juga menderita luka dalam.

“Kakang, ini kesempatan! Cepat bunuh bocah itu! Jangan biarkan dia hidup. Dia akan menjadi ancaman besar di masa depan,” desak Nyai Tunjung Biru kepada Ki Angin Putih, matanya berkilat penuh dendam.

Tanpa menjawab atau menoleh, Ki Angin Putih berdiri tegak. Dengan satu gerakan cepat, dia meluncur ke arah Saga yang masih bersila dengan mata tertutup, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya.

*****

Pukulan mematikan yang akan dilancarkan Ki Angin Putih tampak seperti senjata pamungkas yang akan mengakhiri hidup Saga. Meski samar-samar, Saga masih merasakan serangan itu mendekat, namun tubuhnya tak mampu lagi bereaksi. Ia hanya bisa berdiam diri, seperti patung yang terkunci dalam keputusasaan.

Dadanya yang seakan remuk semakin menambah derita pemuda ini—seorang anak muda yang belum lama terjun ke dunia persilatan yang penuh tokoh-tokoh sakti, termasuk ketiga murid jahanam yang kini membuatnya menderita luka dalam yang parah.

Apakah ini akhir dari hidupku? Aku masih harus menjalankan titah Sultan… Ratu, Ratu…” gumam Saga di dalam benaknya. Dia mencoba keras untuk bergerak, namun kondisi kritis yang dialaminya membuat tubuhnya terasa seperti tertindih sebongkah batu besar yang tak terangkat.

Sejurus kemudian, pukulan mematikan itu hampir menyentuh tubuh lemah Saga. Benaknya dipenuhi potongan-potongan kenangan, gelombang tinggi yang pernah menghempaskannya, sosok Sulaiman, guru pertamanya yang bijaksana; Rahma, putri Sulaiman yang selalu menunggu kepulangannya dengan mata penuh harap; dan Nayaka Sari, wanita cantik berselendang ungu yang kini terbaring lemah karena luka dalam setelah berusaha melindunginya saat bertarung dengan Rangga Wisesa.

Seakan nyawa Saga akan terlepas begitu saja oleh pukulan Ki Angin Putih yang pasti akan meremukkan tubuhnya menjadi debu. Namun, tiba-tiba sebuah sinar putih keperakan melesat dari arah belakang Saga. Sinar itu cepat seperti kilat, mengarah lurus ke tubuh Ki Angin Putih. Dengan refleks, Ki Angin Putih menarik pukulannya dan bersalto ke belakang, matanya melebar penuh keterkejutan.

“Tapak Naga Semesta,” desis Ki Angin Putih dalam hati, mengenali energi dahsyat yang terpancar dari sinar itu. Sinar tersebut terus memburu tubuhnya, membawa hawa panas yang menyengat. Ki Angin Putih berusaha keras menghindar, namun dia tahu bahwa Tapak Naga Semesta bukanlah ajian biasa. Hanya pendekar tingkat paripurna yang mampu menahan kekuatan seperti itu.

Sementara Ki Angin Putih sibuk menghindari serangan maut itu, Saga—yang kesadarannya semakin menipis—sayup-sayup melihat wajah yang sangat dikenalnya tersenyum lembut ke arahnya. Dengan gerakan cekatan, orang itu menotok jalan darah Saga.

“Istirahatlah, Saga,” kata suara itu singkat, namun penuh ketenangan.

“Aaaaaaaakh!” Teriakan keras terdengar dari mulut Ki Angin Putih. Lelaki berwajah pucat itu tak mampu lagi menghindari sinar dari Tapak Naga Semesta yang seperti memiliki nyawa sendiri, memburu targetnya tanpa ampun. Fatal. Tubuh kurus Ki Angin Putih terpental beberapa meter, dadanya tampak gosong terbakar. Bahkan, murid pertama Ki Jaga Baya ini terjengkang di tanah, tak bergerak lagi. Wajahnya yang sebelumnya pucat seperti lembaran kertas putih kini menghitam terbakar.

“Kakaaaaang!” Teriakan histeris Nyai Tunjung Biru membelah udara saat ia melihat tubuh Ki Angin Putih—atau Mahesa Rana—yang kini sudah tak bernyawa. “Kakang Mahesa!” Nyai Tunjung Biru seperti tak percaya bahwa lelaki yang juga pernah menjadi suaminya itu harus meregang nyawa di hadapannya.

Sementara itu, aroma wajah yang sama terkejutnya juga tampak pada Ki Badai Abu. Dia, yang sedang terluka parah, berusaha beringsut ke tubuh kakak seperguruannya. “Kak… kakaang…” Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, sinar putih keperakan itu kembali muncul, menghantam tubuh lemah Ki Badai Abu tanpa ampun. Tubuh gempalnya langsung gosong seperti terbakar bara api. Tak ada kesempatan bagi Ki Badai Abu untuk bertahan hidup.

Dua pendekar golongan sesat yang juga murid durhaka itu kini terbujur menjadi mayat, menyisakan seorang Nyai Tunjung Biru yang seakan tak percaya kedua kakak seperguruannya terbujur kaku hampir secara bersamaan.

Mata wanita berdandan mencolok itu mendelik nanar. Dia menatap tajam seorang pria tegap yang ternyata dikenalinya. “Raden Arya Saka,” geramnya, suaranya penuh amarah dan dendam. “Suatu saat nanti, akan aku balas perbuatanmu!” gumam Nyai Tunjung Biru sambil melepaskan tiga jarum beracun ke arah sosok pria itu. Namun, dengan gerakan cepat, ia berkelebat pergi tanpa menoleh, meninggalkan tubuh Ki Angin Putih dan Ki Badai Abu. Nyai Tunjung Biru—atau Intan Pratiwi—sangat mengetahui siapa sebenarnya pria yang membunuh kedua kakak seperguruannya itu.

*****

Raden Arya Saka, salah satu pendekar pilih tanding yang telah mencapai tingkatan keilmuan hampir sempurna, berdiri tegak di tengah medan pertempuran yang porak-poranda. Arya Saka adalah murid ketiga dari Ki Cipta Buana, seorang guru besar legendaris yang namanya terukir dalam sejarah persilatan. Ki Cipta Buana memiliki tiga murid utama, masing-masing membawa keunikan dan kehebatan tersendiri.

Murid pertamanya adalah Ki Jaga Baya, atau yang lebih dikenal sebagai Raden Sentanu, seorang pendekar sakti yang bergelar Ksatria Naga Samudera. Dialah murid tertua yang menjadi simbol kekuatan dan keteguhan. Ki Jaga Baya dikenal sebagai pelindung tanah air dari ancaman musuh-musuh besar, dengan ilmu beladiri yang tak tertandingi serta kebijaksanaan yang membuatnya dihormati oleh banyak orang. Namun, nasib tragis menimpanya akibat pengkhianatan murid-muridnya sendiri, meninggalkan luka mendalam bagi dunia persilatan.

Murid keduanya adalah Ki Si Hun, seorang pendekar misterius dari negeri tirai bambu. Ia membawa angin timur ke dunia persilatan tanah air, memperkenalkan teknik-teknik unik yang jarang dilihat orang. Dengan gelar Ksatria Naga Buana, Ki Si Hun menjadi sosok yang sulit diprediksi—seorang ahli strategi yang selalu bergerak seperti bayangan, meninggalkan jejak-jejak keajaiban di setiap langkahnya. Meski ia jarang muncul di medan pertempuran, kehadirannya selalu membawa dampak besar.

Sementara itu, murid ketiganya adalah Raden Arya Saka, seorang pemuda yang kemudian dikenal sebagai Kesatria Naga Semesta. Arya Saka adalah murid termuda, namun ia memiliki bakat luar biasa yang membuatnya mencapai tingkatan keilmuan hampir sempurna. Ia adalah perpaduan antara kekuatan, kebijaksanaan, dan ketenangan.

Dalam setiap pertempuran, ia seperti angin yang tak terlihat, namun membawa dampak dahsyat. Arya Saka juga dikenal sebagai tokoh yang rendah hati, meskipun kehebatannya telah melampaui banyak pendekar ternama di zamannya.

Ketiga murid Ki Cipta Buana ini, meskipun berbeda dalam karakter dan latar belakang, memiliki satu kesamaan: mereka adalah penerus warisan besar sang guru, yang tidak hanya mengajarkan ilmu beladiri, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Mereka adalah simbol dari tiga elemen besar: samudera, bumi, dan semesta—mewakili kekuatan alam yang tak terbatas.

Saka, anakku. Cepat tolong Saga. Bawa dia ke Pulau Rambut dan dapatkan ‘Rumput Sari Patih’,” kata Ratu Mayang Sari dengan nada yang mulai tenang setelah melihat kedatangan Raden Arya Saka—yang tak lain adalah anaknya sendiri. Meski hanya berwujud arwah, suaranya penuh otoritas dan kasih sayang.

Iya, Ibu Ratu,” jawab Arya Saka singkat, matanya tetap fokus pada Saga yang terbaring lemah.

Dalam kesadaran yang semakin menipis, Saga merasakan kejutan yang mendalam saat melihat siapa sosok yang dipanggil Raden Arya Saka. Pria itu… adalah orang yang selama ini selalu bersamanya dalam perjalanan. “Gandi…” gumam Saga lemah, suaranya nyaris tak terdengar.

“Istirahatlah, Saga. Aku akan menolongmu,” kata Arya Saka—atau yang dalam pandangan Saga adalah Gandi—dengan suara tenang namun penuh keyakinan. Matanya yang tajam seperti menyimpan rahasia besar yang belum waktunya diungkap.

Namun, keterkejutan bukan hanya milik Saga. Di balik semak-semak, sosok pria muda bernama Hasanudin, yang sebelumnya hanya bisa bersembunyi saat Saga bertarung melawan ketiga tokoh sesat itu, mulai keluar dari persembunyiannya. Wajahnya tampak bercampur antara rasa hormat dan kebingungan.

“Gandi… ah, maaf, Raden,” sapa Hasanudin dengan nada ragu-ragu, suaranya terdengar seperti mencoba menyesuaikan diri dengan identitas baru orang yang ia kenal sebagai Gandi.

“Sudahlah, Hasan. Segera siapkan perahu. Kita harus segera ke Pulau Rambut sebelum senja datang,” ujar Arya Saka dengan nada tegas. “Saat ini adalah waktu yang tepat untuk memetik Rumput Sari Patih.”

Matanya yang tajam seperti elang menyapu cakrawala, memastikan bahwa langit masih memberikan cukup waktu bagi mereka untuk melanjutkan misi penyelamatan ini. Namun, di balik ketenangannya, ada kilatan kekhawatiran yang samar-samar terlihat di wajahnya. “Saga harus selamat“, pikirnya dalam hati. Tidak hanya karena titah ibunya, tapi juga karena Saga adalah harapan terakhir bagi banyak orang.

Arya Saka menjelaskan kepada Hasanudin bahwa waktu sangatlah penting. Rumput Sari Patih hanya dapat dipetik saat senja tiba, ketika energi alam mencapai puncaknya. Jika terlambat, efek penyembuhan Rumput itu akan hilang.

“Saga harus bertahan sampai kita tiba di sana,” kata Arya Saka dengan nada tegas, matanya menatap tubuh lemah Saga yang masih terbaring tak berdaya.

Hasanudin, meskipun cemas, mencoba tegar. “Aku akan mengemudikan perahu secepat mungkin, Raden.”

Angin laut mulai bertiup kencang saat mereka meninggalkan Pulau Onrust. Ombak bergelora seperti merasakan urgensi misi mereka. Namun, di balik keheningan senja, ada firasat buruk yang menghantui Arya Saka. Ia tahu bahwa Nyai Tunjung Biru tidak akan tinggal diam setelah kehilangan dua kakak seperguruannya.

Selama perjalanan, Saga yang masih dalam kondisi lemah mulai mempertanyakan identitas sebenarnya dari Arya Saka. Dalam benaknya, ia masih sulit mempercayai bahwa Gandi—teman seperjalanannya selama ini—adalah seorang pendekar legendaris bernama Kesatria Naga Semesta .

“Gandi… maaf, maksudku, Raden Arya Saka,” gumam Saga pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin laut. “Kenapa kau menyembunyikan jati dirimu dariku?”

Arya Saka tersenyum tipis, namun ada kesedihan dalam tatapannya. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui, Saga. Tapi jika kau ingin tahu, aku adalah murid Ki Cipta Buana. Aku datang ke sini bukan hanya untuk menolongmu, tapi juga untuk melindungi warisan guruku.”

Saga terdiam. Ia merasakan ada beban besar yang dipikul oleh Arya Saka. Mungkin itulah alasan mengapa pria itu selalu tampak tenang, namun penuh misteri.

Setelah tiba di Pulau Rambut, kondisi Saga semakin memburuk. Tubuhnya yang terluka parah akibat pertempuran dengan Ki Angin Putih dan Nyai Tunjung Biru membuatnya tak mampu bergerak lagi. Arya Saka, yang menyadari bahwa Saga tidak dalam kondisi untuk melanjutkan pencarian Rumput Sari Patih, memutuskan untuk mengambil alih misi tersebut.

“Saga harus istirahat,” kata Arya Saka kepada Hasanudin. “Aku yang akan mencari Rumput Sari Patih. Kau jagalah dia di sini.”

Hasanudin mengangguk dengan cemas. “Hati-hati, Raden. Pulau ini… terasa aneh.”

Saga, meskipun sadar dirinya lemah, mencoba membuka suara. “Tuan… Gandi… maafkan aku. Aku gagal…”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” jawab Arya Saka dengan nada tenang namun tegas. “Ini bukan waktunya untuk menyerah. Istirahatlah, dan biarkan aku yang menyelesaikan ini.”

Saga akhirnya menutup matanya, tubuhnya terkulai lemah di bawah pohon besar tak jauh dari perahu yang mereka tambatkan. Hasanudin duduk di sampingnya, siap menjaga Saga dengan setia.

Sementara itu, Arya Saka melangkah masuk ke dalam hutan lebat Pulau Rambut. Pepohonan raksasa dengan daun-daun halus seperti rambut menjuntai ke bawah menciptakan suasana magis yang misterius. Udara di sini terasa berbeda—lebih dingin, lebih berat, seolah-olah alam sedang mengamati setiap langkahnya.

Setelah berjalan cukup lama, Arya Saka akhirnya tiba di sebuah padang rumput kecil di tengah hutan. Di sana, ia melihat Rumput Sari Patih —sebuah tanaman kecil dengan daun berkilauan seperti permata biru, tampak begitu rapuh namun memancarkan aura magis yang kuat.

Namun, sebelum Arya Saka bisa mendekat, angin tiba-tiba berhembus kencang, dan dari balik pepohonan muncul sosok makhluk mistis—seekor burung raksasa berwarna keunguan. Mata burung itu bersinar seperti api ungu, dan sayapnya yang lebar menutupi seluruh langit kecil di atas padang rumput.

“Siapa yang berani mengganggu tempat suci ini?” suara burung itu bergema, dalam dan berwibawa.

Arya Saka maju selangkah, tangannya sudah siap meraih senjata jika diperlukan. “Aku, Raden Arya Saka, datang untuk mengambil Rumput Sari Patih. Ini demi menyelamatkan nyawa seseorang yang sangat penting.”

Burung itu menatap Arya Saka dengan sorot mata tajam, seolah-olah membaca jiwanya. “Kamu tidak akan mendapatkan Rumput Sari Patih begitu saja. Kamu harus membuktikan bahwa kamu layak.”

Tanpa menunggu jawaban, burung itu melebarkan sayapnya dan meluncur ke arah Arya Saka dengan kecepatan luar biasa. Arya Saka segera mengeluarkan jurus Tapak Naga Semesta , menciptakan penghalang energi putih keperakan yang melindunginya dari serangan pertama.

Pertarungan pun dimulai. Burung itu menyerang dengan cakar-cakarnya yang tajam dan napas panas berwarna ungu yang mampu membakar apa pun yang disentuhnya. Namun, Arya Saka tidak gentar. Dengan kekuatan dan kebijaksanaannya sebagai Kesatria Naga Semesta , ia melawan balik dengan gerakan yang elegan namun mematikan.

Setelah beberapa jurus, Arya Saka akhirnya berhasil menundukkan burung itu dengan satu serangan pamungkas. Burung raksasa itu jatuh ke tanah, namun bukannya marah, ia malah tersenyum lemah.

“Kamu layak,” kata burung itu dengan suara yang lebih lembut. “Ambillah Rumput Sari Patih. Namun, ingatlah—rumput ini hanya dapat menyembuhkan satu orang. Pilihlah dengan bijak.”

Burung itu kemudian menyerahkan Rumput Sari Patih langsung kepada Arya Saka, sebelum akhirnya lenyap ke dalam angin seperti asap.

Arya Saka berdiri diam di tengah padang rumput, memegang Rumput Sari Patih yang bersinar lembut di tangannya. Pikirannya dipenuhi oleh dilema yang sulit. Ia tahu bahwa Rumput ini hanya bisa menyembuhkan satu orang, dan ia harus memilih antara dua orang yang sangat penting dalam hidupnya.

Di satu sisi, ada Saga , pemuda gagah yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Saga adalah harapan bagi banyak orang, termasuk titah Sultan Demak yang belum terselesaikan. Jika Saga mati, misi besar ini akan gagal.

Di sisi lain, ada Nayaka Sari , putri satu-satunya Arya Saka, yang juga terluka parah di Pulau Untung Jawa. Nayaka Sari adalah wanita yang dicintai Saga, dan kondisinya semakin lemah setiap detik yang berlalu.

Suara Ratu Mayang Sari—yang hadir sebagai arwah—menggema di benak Arya Saka. “Arya, anakku. Saga harus didahulukan. Dia adalah harapan kita semua.”

Namun, hati Arya Saka terasa tercabik-cabik. Bagaimana mungkin ia bisa memilih antara dua orang yang sama-sama berharga? Jika ia menyembuhkan Saga, apakah ia rela kehilangan Nayaka Sari, putrinya sendiri?

Arya Saka menatap Rumput Sari Patih dengan mata penuh konflik. Waktu semakin menipis, dan keputusan harus segera diambil.

Untuk siapakah Rumput ini?” gumam Arya Saka pelan, suaranya penuh beban.

Setelah mendapatkan Rumput Sari Patih dari burung mistis, Arya Saka berdiri diam di tengah padang rumput Pulau Rambut, memegang rumput itu dengan hati penuh dilema. Suara Ratu Mayang Sari terdengar lembut namun tegas di benaknya.

Arya Saka menarik napas panjang. Ia tahu bahwa ibunya benar—Saga adalah kunci untuk menyelesaikan misi besar yang diberikan Sultan Demak. Namun, di sisi lain, Nayaka Sari adalah putrinya sendiri, darah dagingnya, yang juga sedang sekarat di Pulau Untung Jawa.

Akhirnya, Arya Saka membuat keputusan. Ia akan menyerahkan Rumput Sari Patih kepada Saga, seperti permintaan Ratu Mayang Sari. Dengan langkah berat, ia kembali ke tempat Saga terbaring lemah di bawah pohon besar, dijaga oleh Hasanudin.

“Saga,” panggil Arya Saka pelan, suaranya penuh kesedihan. “Ini adalah Rumput Sari Patih. Gunakanlah untuk menyembuhkan dirimu.”

Namun, meskipun tubuhnya masih lemah, Saga menggelengkan kepala dengan lembut. Matanya yang redup tetap bersinar dengan keteguhan yang luar biasa.

“Tidak, Tuan… maafkan aku. Aku tidak bisa menerimanya,” kata Saga dengan suara serak. “Rumput ini harus digunakan untuk menyembuhkan Nayaka Sari. Dia lebih penting daripada aku.”

Arya Saka terkejut mendengar jawaban Saga. Bahkan Ratu Mayang Sari, yang hadir sebagai arwah, tampak terguncang.

“Saga, apa yang kau bicarakan? Nyawamu sedang terancam!” desak Arya Saka, suaranya penuh kekhawatiran.

Saga tersenyum tipis, meskipun wajahnya pucat karena rasa sakit. “Aku percaya pada keajaiban, Tuan. Nayaka Sari adalah harapan kita semua. Jika dia sembuh, dia bisa melanjutkan perjuangan ini. Aku… aku hanya seorang pemuda biasa.”

Ketulusan Saga membuat Arya Saka dan Ratu Mayang Sari terdiam. Mereka menyadari bahwa Saga bukan hanya pemuda gagah yang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi juga seseorang dengan hati yang murni dan penuh pengorbanan.

Setelah keputusan sulit itu, Arya Saka, Saga (yang masih lemah), dan Hasanudin segera berlayar menuju Pulau Untung Jawa. Di sana, mereka disambut dengan kecemasan oleh Amirudin dan Siti Hajar , suami istri yang diminta menjaga Nayaka Sari.

“Bagaimana kondisi Nayaka Sari?” tanya Arya Saka langsung, nada suaranya penuh urgensi.

Amirudin menggelengkan kepala, wajahnya muram. “Kondisinya semakin memburuk, Raden. Kami sudah mencoba segala cara, tapi…”

Tanpa menunggu lebih lama, Arya Saka bergegas masuk ke kamar tempat Nayaka Sari terbaring lemah. Tubuh putrinya tampak rapuh, napasnya tersengal-sengal. Arya Saka merasakan beban besar di hatinya.

Ia mengambil Rumput Sari Patih, lalu memasukkan sedikit tenaga murninya ke dalam rumput itu untuk mempercepat efek penyembuhannya. Dengan lembut, ia meminta Nayaka Sari untuk memakan rumput tersebut.

Keajaiban pun terjadi. Perlahan-lahan, tubuh Nayaka Sari mulai pulih. Sinar keunguan menyelimuti tubuhnya, dan aura kekuatan yang luar biasa mulai terpancar. Tenaga dalamnya sebagai Dewi Selendang Ungu bahkan terasa bertambah dua kali lipat. Bayangan burung ungu yang sebelumnya muncul di Pulau Rambut kini merasuki tubuh Nayaka Sari, memberikan kekuatan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Setelah sepenuhnya sadar, Nayaka Sari segera menanyakan kondisi Saga. Ketika mendengar bahwa Saga menolak Rumput Sari Patih demi menyelamatkannya, Nayaka Sari terkejut dan diliputi rasa bersalah.

“Aku harus menemuinya,” katanya dengan nada cemas.

Namun, saat ia berlari keluar kamar, sosok burung ungu muncul di hadapannya. Burung itu berkata dengan suara yang dalam dan bijaksana.

“Nayaka Sari, ada satu cara untuk menyelamatkan nyawa Saga. Kau harus mengikatkan dirimu dengannya melalui akad pernikahan. Dengan melakukan hubungan suami istri, energi kehidupanmu akan mengalir ke dalam tubuhnya dan menyelamatkannya.”

Nayaka Sari terkejut mendengar permintaan itu. “Tapi… apakah dia menyukaiku? Kami hanya beberapa kali bertemu…”

Burung itu tersenyum samar. “Cinta tidak selalu membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. Kamu tahu bahwa Saga adalah pemuda yang pernah meluluhkan hatimu. Percayalah pada hatimu, dan lakukan apa yang harus dilakukan.”

Nayaka Sari ragu sejenak, namun tekadnya akhirnya bulat. Ia meminta Arya Saka untuk menjadi walinya dalam akad nikah tersebut.

Sebelumnya, Nayaka Sari tidak mengetahui bahwa Gandi , teman seperjalanan Saga, adalah ayahnya. Namun, selama masa pemulihannya di Pulau Untung Jawa, Arya Saka telah membuka tabir dirinya kepada Nayaka Sari. Ia menjelaskan bahwa ia adalah ayah kandungnya, yang sedang menjalankan tapa serupa wajah untuk menyempurnakan Tapak Naga Semesta .

“Ayah…” gumam Nayaka Sari, air mata mengalir di pipinya. “Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal?”

Arya Saka tersenyum pahit. “Ada banyak hal yang harus kulakukan demi melindungi kita semua, Nak. Tapi sekarang, aku di sini untukmu.”

*****

Bagaimana jika cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang pengorbanan yang mengubah takdir?

Di akhir Bab 9: “Dilema Sari Patih” , kita menyaksikan bagaimana Nayaka Sari rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Saga—pemuda yang mungkin ia cintai dalam diam. Namun, apakah Saga merasakan hal yang sama? Ataukah hatinya masih kosong, terlalu fokus pada misi besar yang diembannya?

Dan bagaimana dengan Arya Saka? Setelah tabir terbuka dan Nayaka Sari mengetahui bahwa Gandi adalah ayah kandungnya, bagaimana hubungan mereka akan berkembang? Akankah Nayaka Sari mampu memaafkan tahun-tahun panjang tanpa kehadiran seorang ayah?

Namun, yang paling penting…

  • Apakah cinta antara Nayaka Sari dan Saga akan bertahan di tengah badai ujian yang semakin dekat?
  • Bagaimana reaksi Saga ketika mengetahui bahwa wanita yang menyelamatkan nyawanya ternyata adalah putri dari Kesatria Naga Semesta?
  • Dan yang lebih mendebarkan lagi… apakah Nyai Tunjung Biru akan kembali dengan dendam yang lebih besar, mengancam kebahagiaan pasangan baru ini?

Semua jawaban itu akan terungkap dalam kisah Sagara Sang Panglima Samudera selanjutnya yang akan membawa Anda ke dunia romansa penuh keajaiban, konflik batin yang mendalam, serta pertarungan tak terhindarkan antara cinta dan takdir.

Jadi, bersiaplah untuk melanjutkan perjalanan ini. Akankah Saga dan Nayaka Sari menemukan kebahagiaan bersama, ataukah takdir memiliki rencana lain untuk mereka?

Ikuti kisahnya di Bab 10: Mendung di Pulau Tidung !

[poll id=”2″]

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!