Kisah  

Menumpas Angkara Murka

Bab 6

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

 

Bab 6 : Menumpas Angkara Murka

Saat matahari terbit di ufuk timur, Saga dan kawan-kawannya tiba di Pulau Onrust, sebuah pulau yang indah dengan laut yang biru dan pantai yang putih. Angin laut yang sejuk berhembus di wajah mereka, membuat mereka merasa segar dan siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Gandi, yang berbadan gempal dan selalu tersenyum, berjalan di samping Saga dengan langkah yang santai.

“Kita harus berhati-hati,” kata Saga kepada kawan-kawannya, sambil menatap sekeliling dengan mata yang tajam. “Kita tidak tahu berapa banyak perampok yang ada di sini.”

“Tidak apa-apa, Saga,” jawab Gandi dengan nada yang percaya diri. “Kita telah siap untuk menghadapi mereka. Kita tidak akan membiarkan mereka mengganggu kita.”

Saat Saga dan kawan-kawannya berjalan di pantai Pulau Onrust, mereka tiba-tiba dihadang oleh segerombolan perompak. Perompak-perompak tersebut memiliki wajah yang kasar dan mata yang tajam, serta senjata yang terlihat berbahaya.

“Halt! Kalian tidak bisa lewat dari sini!” teriak salah seorang perompak, sambil mengacungkan senjatanya.

Saga dan kawan-kawannya berhenti dan menatap perompak-perompak tersebut dengan tenang. Gandi bahkan tersenyum, menunjukkan bahwa dia tidak takut.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Saga dengan santai, sambil menatap perompak-perompak tersebut dengan mata yang tajam.

“Kalian adalah orang-orang kampung yang sok jagoan!” teriak perompak lainnya, sambil menghina Saga dan kawan-kawannya. “Kalian tidak tahu siapa kami! Kami adalah perompak yang paling berani di Kepulauan Seribu!”

Salah seorang perompak tersebut, yang memiliki wajah yang kasar dan mata yang tajam, melangkah maju dan menatap Saga dengan sombong. Dia memiliki bekas luka di pipinya dan senyum yang menunjukkan kejahatan.

“Kamu, anak bau kencur! Sepantasnya kamu masih berada di keteak ibumu! Apa yang kamu lakukan di sini?” teriak perampok tersebut dengan nada yang menghina.

Saga menatap perompak tersebut dengan tenang, namun matanya berkilat dengan kemarahan. Dia bisa merasakan darahnya mendidih dengan kemarahan.

“Aku tidak takut pada kalian!” teriak Saga dengan suara yang keras. “Aku akan menghajar kalian semua!”

Perompak-perompak tersebut tertawa dengan keras dan menghina Saga. Mereka memiliki senjata yang terlihat berbahaya dan wajah yang kasar.

“Kamu pikir kamu bisa menghajar kami? Kami akan membunuhmu!” teriak salah seorang perompak yang memiliki luka bekas sayatan di wajahnya.

Perompak-perompak yang berjumlah sekitar 30 orang itu membuat nyali Basri dan empat warga lainnya ciut. Mereka berbisik-bisik dengan suara yang tidak jelas dan mata yang takut.

“K-kita harus apa, ya?” bisik Basri dengan suara yang gemetar.

“T-tidak tahu, tapi kita harus siap,” jawab salah seorang warga dengan suara yang tidak jelas.

Gandi hanya senyum-senyum saja, seakan memandang enteng gerombolan perompak itu. Dia memiliki senyum yang menunjukkan kepercayaan diri dan mata yang tajam.

Saga semakin tegas menantang para perompak.

“Kita tidak akan mundur!” teriak Saga dengan suara yang keras. “Kita akan menghajar kalian semua!”

Saat pertempuran terjadi, Saga dan Gandi maju dengan semangat juang yang tinggi. Mereka berdua menggunakan jurus-jurus yang telah mereka kuasai dengan cepat dan tepat.

Sementara itu, Basri dan keempat lelaki yang meski perawakannya tinggi besar, gemetar kakinya dan dilalanya mereka malah bersembunyi di balik semak-semak. Salah satu dari empat lelaki itu, yang bernama Karto, tiba-tiba terkencing-kencing karena takut. Dia berlari ke arah semak-semak, namun malah terjatuh dan menggelinding di tanah.

“A-aku tidak bisa menahan lagi!” teriak Karto dengan suara yang gemetar dan wajah yang merah padam.

Para perompak yang melihat kejadian itu tidak bisa menahan tawa mereka. Mereka tertawa dengan keras dan mengejek Karto.

“Haha! Lihat itu! Orang itu terkencing-kencing karena takut!” teriak salah satu perompak sambil menunjuk Karto dengan jari telunjuknya.

Basri yang melihat kejadian itu juga tidak bisa menahan tawa. Dia berbisik dengan suara yang gemetar, “A-aku tidak bisa membantu Karto. A-aku juga takut.”

Saga dan Gandi yang melihat kejadian itu tidak bisa menahan senyum mereka. Mereka berdua kemudian melanjutkan pertarungan mereka, namun dengan semangat yang lebih tinggi karena telah melihat kejadian yang lucu tersebut.

Saat pertarungan berlangsung, Saga meminta Gandi berhati-hati. “Gandi, jangan sampai terluka!” teriak Saga dengan suara yang keras dan penuh kekhawatiran.

Namun, Gandi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Aku tidak perlu ikut bertarung, Saga. Aku yakin kamu sendirian bisa mengalahkan 30 orang perompak itu,” kata Gandi dengan nada yang percaya diri dan santai.

Gandi kemudian mundur dan mencari tempat duduk yang nyaman di bawah pohon yang rindang. Dia membuka bekal makanan yang terdiri dari sate, nasi, dan sayuran, dan mulai makan dengan santai sambil menikmati pemandangan sekitar.

Basri dan Karto yang melihat adegan itu hanya bisa geleng-geleng kepala dengan heran. “Apa yang salah dengan Gandi?” bisik Basri kepada Karto. “Dia sepertinya tidak peduli dengan pertarungan yang sedang berlangsung.”

“Aku tidak tahu, tapi dia pasti tidak normal,” jawab Karto dengan heran. “Orang normal tidak akan makan sate saat pertarungan.”

Sementara itu, Saga terus bertarung dengan para perompak. Dia menggunakan jurus-jurus yang telah dia kuasai dan berhasil mengalahkan beberapa perompak. Namun, para perompak tidak menyerah. Mereka terus menyerang Saga dengan kejam, membuatnya harus menggunakan semua kemampuan dan kekuatannya untuk mengalahkan mereka.

Saat Saga terus bertarung dengan para perompak, Gandi tiba-tiba berbicara dengan suara yang keras. “Hey, Basri! Mau makanan? Aku punya sate yang enak! Sate kambing yang dibumbui dengan rempah-rempah khas Pulau Jawa.”

Basri yang sedang bersembunyi hanya bisa menggelengkan kepala dengan frustrasi. “Apa yang salah dengan kamu, Gandi? Ini saat pertarungan, bukan saat makan! Kamu harus membantu Saga, bukan makan sate.”

Gandi kemudian menawarkan makanan kepada para perompak. “Hey, kalian! Mau makanan? Aku punya sate yang enak! Jangan terlalu bersemangat bertarung, nanti kalian kelelahan! Makan dulu, baru bertarung lagi.”

Para perompak yang sedang bertarung dengan Saga hanya bisa terkejut dengan tawaran Gandi. Mereka tidak bisa memahami mengapa Gandi menawarkan makanan kepada mereka saat pertarungan. Mereka saling menatap dengan bingung, membuat Saga memiliki kesempatan untuk menyerang mereka kembali.

Gandi kemudian berbicara dengan suara yang kasihan, sambil menggelengkan kepala. “Aku merasa kasihan kepada kalian. Kalian akan meregang nyawa di tangan Saga. Aku ingin membantu kalian dengan memberikan makanan yang enak sebelum kalian mati.”

Para perompak yang mendengar kata-kata Gandi hanya bisa terdiam, dengan wajah yang bingung dan mata yang terkejut. Mereka tidak bisa memahami mengapa Gandi berbicara seperti itu, dan apa yang membuatnya memiliki sikap yang begitu santai dan acuh tak acuh.

Sementara itu, Saga terus bertarung dengan para perompak, dengan menggunakan jurus-jurus yang telah dia kuasai dan mengalahkan beberapa perompak. Dia bergerak dengan cepat dan lincah, dengan pukulan yang kuat dan tepat.

Satu demi satu, perompak rebah terhantam pukulan Saga, dengan darah yang mengalir dari luka-luka mereka. Bahkan dalam waktu singkat, dengan kombinasi jurus Betsi yang dikuasai Saga, para perompak tak bisa banyak berkutik dan tunggang langgang dibuatnya.

Gandi yang sedang makan sate hanya bisa mengangguk-angguk kepala, sambil menikmati makanannya. “Wah, Saga memang hebat. Hanya sekunyahan, lima perompak sudah terkapar.”

Dan secara cepat, perompak semakin banyak yang jatuh berbaring di tanah tak sadarkan diri. Saga semakin memperlihatkan ketangkasan dan kegagahannya, meski belum sampai usia 17 tahun.

Basri dan Karto beserta tiga kawannya semakin mengagumi Saga, dengan mata yang terkejut dan wajah yang kagum. Mereka tidak bisa memahami bagaimana seorang pemuda yang masih muda bisa memiliki kemampuan yang begitu hebat.

“Benar-benar luar biasa,” kata Basri dengan kagum. “Saga seperti sudah sangat matang dan terlihat seperti pendekar pilih tanding.”

Karto juga mengangguk-angguk kepala dengan heran. “Aku tidak bisa memahami bagaimana dia bisa memiliki kemampuan yang begitu hebat. Dia seperti memiliki kekuatan yang tidak terkalahkan.”

Sementara itu, Gandi sudah selesai makan sate dan membuang tulangnya dengan santai. “Wah, aku sudah kenyang. Sekarang, aku bisa menonton pertarungan ini dengan lebih santai,” katanya sambil duduk di atas batu dan menonton pertarungan dengan mata yang terbuka lebar.

Situasi yang sama juga dialami para perompak yang masih tersisa. Sepertinya Saga tidak pernah bisa disentuh, bahkan hantaman senjata meski tepat mengena Saga itu hanya seperti menghantam batu karang yang keras dan tidak luka bahkan goresan sedikitpun. Mereka semakin ciut dan takut, dengan mata yang terkejut dan wajah yang pucat.

Para perompak yang masih tersisa semakin ragu untuk kembali menyerang Saga. Mereka berbisik satu dengan lainnya agar menyerah saja.

“Ayo, kita menyerah saja,” kata salah satu perompak dengan suara yang gemetar. “Kita tidak akan bisa mengalahkan dia. Dia terlalu kuat.”

“Benar, kita tidak akan bisa mengalahkan dia,” kata perompak lainnya. “Kita harus menyerah dan meminta ampun.”

Saga dengan hentakan keras meminta para perompak bertobat. “Kalau kalian tidak bertobat, aku tidak segan mengakhiri hayat kalian semua!” teriaknya dengan suara yang keras dan mata yang tajam.

Teriakan Saga ini semakin membuat perompak gemetar. Mereka semakin ragu untuk kembali menyerang Saga, dan akhirnya memutuskan untuk menyerah.

Namun, saat tiga perompak sisa akan menyerah, sebuah senjata rahasia tiba-tiba menghantam mereka. Akibatnya, mereka meregang nyawa dengan memuntahkan darah kehitaman yang seperti tercampur racun yang sangat mematikan. Suasana menjadi semakin menegangkan dan mencekam.

Sontak, Saga meminta Gandi waspada karena ada seseorang yang memiliki kesaktian lebih di sekitar arena pertarungan itu. “Gandi, waspada! Ada seseorang yang memiliki kesaktian lebih di sekitar kita!” teriak Saga dengan suara yang keras dan mata yang tajam.

Gandi yang sedang duduk santai langsung berdiri dan memandang sekitar dengan mata yang waspada. “Aku tidak melihat siapa pun, tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka. Mereka memiliki energi yang sangat kuat dan menakutkan.”

Basri dan Karto yang melihat kejadian itu hanya bisa terkejut. Mereka tidak bisa memahami bagaimana seseorang bisa memiliki kesaktian yang begitu hebat. “Siapa yang bisa melakukan hal seperti itu?” tanya Basri dengan suara yang gemetar.

“Aku tidak tahu, tapi kita harus waspada,” jawab Saga dengan serius. “Mereka mungkin memiliki tujuan yang tidak baik.”

Saat itu, sebuah bayangan muncul dari balik semak-semak. Bayangan itu memiliki mata yang merah seperti api dan senyum yang menakutkan. Dia berpakaian merah selayaknya seorang pangeran dan rambut yang tertata rapi dengan ikat kepala berhias keemasan.

“Selamat datang, Saga,” kata bayangan itu dengan suara yang menakutkan. “Aku telah menunggumu. Aku adalah Raja Kegelapan, dan aku telah datang untuk menghancurkanmu.”

Bayangan itu kemudian melangkah maju, dengan mata yang merah seperti api dan senyum yang menakutkan. Saga dan Gandi siap untuk menghadapi Raja Kegelapan, dengan hati yang teguh dan semangat yang tidak terkalahkan.

“Selamat datang, Saga,” kata pemuda itu dengan suara yang menakutkan dan mata yang merah seperti api. “Aku telah menunggumu.”

Saga memandang pemuda itu dengan tajam, mencoba untuk membaca niatnya. “Kamu adalah… Rangga Wisesa.”

Rangga tersenyum dengan menakutkan, menunjukkan gigi-gigi yang tajam. “Benar, aku adalah Rangga Wisesa, putra Ki Jagaseta. Dan aku telah datang untuk membalas dendam.”

“Dendam?” tanya Saga dengan penasaran, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. “Apa yang kamu maksud?”

Rangga menatap Saga dengan mata yang merah, penuh dengan kemarahan dan dendam. “Kamu telah mengalahkanku saat uji tanding di Kesultanan Demak. Dan kamu juga telah merebut hati Nayaka Sari.”

Saga memandang Rangga dengan tenang, mencoba untuk tetap tenang di tengah situasi yang tegang. “Apa yang kamu maksud dengan Nayaka Sari?”

Rangga tersenyum dengan menakutkan, menunjukkan betapa besar dendamnya. “Kamu tahu apa yang aku maksud. Nayaka Sari telah menolak cintaku karena telah jatuh hati dengan kamu.”

Saga tidak bergeming, mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh kata-kata Rangga. “Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”

Rangga marah, wajahnya merah padam dengan kemarahan. “Jangan berbohong! Aku tahu bahwa kamu telah merebut hati Nayaka Sari. Dan aku akan membalas dendam ini.”

Saga memandang Rangga dengan tenang, mencoba untuk membuatnya sadar dan menghilangkan dendam di antara mereka. “Rangga, aku ingin kamu sadar dan menghilangkan dendam di antara kita. Kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan damai.”

Rangga menatap Saga dengan mata yang merah, penuh dengan kemarahan dan dendam. “Tidak! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu! Kamu telah menghancurkan hidupku!”

Dengan mendadak, Rangga menyerang Saga secara membabibuta, menggunakan jurus-jurus yang sangat kuat dan cepat. Saga harus bergerak dengan cepat untuk menghindari serangan, dan mempersiapkan diri untuk melawan Rangga.

Gandi yang melihat situasi ini menjadi khawatir. Dia ingin membantu Saga, tapi dia tahan. Gandi khawatir jati dirinya terbongkar jika dia ikut bertarung. Dia tidak ingin kehilangan identitasnya sebagai seorang yang lemah dan tidak berpengalaman.

“Aku harus menahan diri,” bisik Gandi kepada dirinya sendiri. “Aku tidak bisa membiarkan jati diriku terbongkar. Aku harus tetap berpura-pura sebagai seorang yang lemah dan tidak berpengalaman.”

Sementara itu, Saga terus bertarung dengan Rangga. Dia menggunakan jurus-jurus yang sangat kuat dan cepat, tapi Rangga tidak mudah dikalahkan. Rangga terus menyerang Saga dengan kejam, membuat Saga harus bergerak dengan cepat untuk menghindari serangan.

Rangga tersenyum dengan menakutkan. “Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku, Saga? Kamu hanya seorang anak muda yang lemah dan tidak berpengalaman.”

“Kamu tidak tahu siapa aku sebenarnya,” lanjut Rangga. “Aku adalah Rangga Wisesa, putra Ki Jagaseta. Aku memiliki kekuatan yang tidak bisa kamu bayangkan.”

“Aku akan menghabisi kamu, Saga,” teriak Rangga. “Aku akan menghabisi teman-temanmu, keluarga Sulaiman, dan bahkan sanak-saudara dan keluargamu. Aku akan membasmi semua orang yang pernah membantumu.”

Saga merasa terpancing oleh kata-kata Rangga. Dia merasa marah dan ingin menghantam Rangga dengan sekuat tenaga. Tapi, ada sesuatu yang lain yang mulai muncul di dalam dirinya.

Sebuah energi yang sangat kuat dan tidak terkontrol mulai membangkitkan dirinya. Energi itu membuat Saga merasa lebih kuat dan lebih berani. Tapi, energi itu juga membuat Saga merasa lebih agresif dan lebih tidak terkendali.

Tiba-tiba, seorang wanita berpakaian ungu dan menyebar wangi bunga lavender muncul dari balik semak-semak. Dia menyerang Rangga dengan kecepatan jurus Srigunting yang sangat tinggi. Wanita itu memiliki mata yang tajam dan rambut yang panjang dan hitam. Dia terlihat sangat kuat dan berani.

“Siapa kamu?” tanya Rangga dengan terkejut.

“Aku adalah Lavender,” jawab wanita itu dengan suara yang lembut. “Aku telah datang untuk membantu Saga dan menghentikan kamu.”

Saga terkejut melihat sosok ungu itu. Dia sangat mengenali jurus yang digunakan oleh wanita itu. “Nayaka Sari?” gumam Saga dengan heran dan mata yang terbuka lebar.

Rangga juga tertawa melihat Nayaka Sari menyerangnya. “Ah, Nayaka Sari. Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku dengan jurus Sriguntingmu?” teriak Rangga dengan mengejek dan mata yang merah.

Nayaka Sari tidak menjawab. Dia terus menyerang Rangga dengan jurus-jurus yang sangat cepat dan kuat, membuat Rangga terpaksa menggunakan jurus Braja Musti untuk menghadapi serangan Nayaka Sari.

Sementara itu, Saga masih terkejut melihat Nayaka Sari menyerang Rangga. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. “Nayaka Sari, apa yang kamu lakukan?” tanya Saga dengan heran dan khawatir.

Tapi, Nayaka Sari tidak menjawab. Dia terus menyerang Rangga dengan kecepatan yang sangat tinggi, membuat Saga semakin khawatir.

Gandi memandang situasi tersebut dengan khawatir. Dia tidak ingin Nayaka Sari terluka. “Aku tidak bisa membiarkannya,” gumam Gandi dalam hati. “Aku harus bertindak.”

Tapi, Gandi masih ragu-ragu. Dia tidak ingin Nayaka Sari mengetahui identitasnya yang sebenarnya. “Aku tidak bisa membiarkannya tahu,” pikir Gandi. “Aku harus menjaga rahasia.”

Gandi memandang Nayaka Sari dengan lebih teliti. Dia melihat keberanian dan kekuatan dalam diri Nayaka Sari. “Dia adalah putriku,” gumam Gandi dalam hati. “Aku harus melindunginya.”

Gandi berjanji kepada dirinya sendiri untuk bertindak jika Nayaka Sari dalam situasi berbahaya. “Aku akan melindunginya,” janji Gandi. “Aku tidak akan membiarkannya terluka.”

Sementara itu, Nayaka Sari terus menyerang Rangga dengan jurus-jurus yang sangat cepat dan kuat. Rangga terpaksa menggunakan jurus Braja Musti untuk menghadapi serangan Nayaka Sari, tapi Nayaka Sari tidak mudah dikalahkan.

Gandi berteriak kepada Saga dengan nada yang santai, tapi dengan mata yang tajam dan penuh perhatian. “Hai, Saga! Jangan terganggu konsentrasinya! Cepat bantu Nayaka Sari!”

Sambil bercanda, Gandi melemparkan sesuatu ke arah Saga dengan kecepatan yang sangat tinggi. Benda itu mengenai punggung Saga dengan tepat, membuatnya terkejut dan menatap Gandi dengan heran.

“Apa itu?” tanya Saga dalam hati, dengan mata yang terbuka lebar karena keheranan. “Bagaimana bisa Gandi melakukan itu?”

Saga merasa staminanya yang tadinya lelah setelah bertarung sengit dengan 30 perompak, tiba-tiba kembali pulih. Dia merasa lebih kuat dan lebih bersemangat, dengan darah yang mengalir lebih cepat dan napas yang lebih dalam.

Gandi teriak lagi, dengan suara yang lebih keras dan lebih bersemangat. “Jangan bengong, Saga! Cepat bantu Nayaka Sari!”

Saga menatap Gandi dengan lebih teliti, dengan mata yang lebih tajam dan lebih curiga. Dia semakin membenak pertanyaan tentang siapa Gandi sebenarnya. Bagaimana bisa Gandi memiliki kekuatan seperti itu?

Tapi, Saga tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu lebih lanjut. Dia harus segera membantu Nayaka Sari yang masih bertarung dengan Rangga.

Saat Saga menerjang ke dalam pertarungan antara Rangga dan Nayaka Sari, udara sekitar terasa memanas. Rangga, yang sedang menghujamkan pukulan Braja Musti miliknya, terkejut melihat Saga muncul begitu tiba-tiba. Matanya yang tajam memandang Saga dengan penuh kecurigaan dan kemarahan.

“Kamu kembali lagi?” teriak Rangga dengan suara yang keras dan penuh kemarahan. “Aku tidak akan membiarkan kamu mengganggu rencanaku!”

Nayaka Sari, yang sedang berusaha menghindar dari pukulan Rangga, terjatuh ke tanah dengan terhuyung-huyung. Gandi, yang sedang berdiri di samping, segera menangkap tubuh Nayaka Sari dan memberikan energi murni untuk membantunya pulih dari luka-lukanya. Wajah Gandi yang biasanya tenang dan damai sekarang terlihat khawatir dan prihatin, dengan mata yang tajam dan penuh kasih sayang.

“Ah, pada saatnya dia akan mengetahui siapa aku,” gumam Gandi dengan senyum bangga, sambil memandang Nayaka Sari dengan penuh kasih sayang. Suaranya yang pelan terdengar seperti bisikan angin yang lembut, membuat Nayaka Sari merasa lebih tenang dan aman.

Sementara itu, Rangga tertawa terbahak-bahak melihat Nayaka Sari terluka. “Ha! Ha! Ha! Kamu pikir bisa mengalahkan aku, Saga? Kamu hanya seorang anak muda yang tidak berpengalaman!” Suaranya yang keras terdengar seperti guntur yang menggelegar, membuat Saga merasa lebih marah dan sedih.

Saga, yang sedang merasakan emosi marah dan sedih, segera mengambil napas dalam-dalam. Ia bersiap merapal pukulan ‘Tapak Naga Membelah Samudera’ dan menyerang Rangga dengan penuh semangat. “Kamu akan membayar atas apa yang kamu lakukan pada Nayaka Sari!” Suaranya yang keras terdengar seperti petir yang menyambar, membuat Rangga terkejut dan siap untuk menghadapi serangan Saga.

Gandi, yang sedang memandang pertarungan antara Saga dan Rangga, segera berseru dengan suara lantang. “Saga, jangan biarkan emosi menguasai kamu! Tetap berkonsentrasi, jangan gunakan ajian itu, coba keluarkan Pusaka Tombak Kyai Pleret!” Suaranya yang keras terdengar seperti perintah yang tidak bisa diabaikan, membuat Saga terkejut dan mempertimbangkan untuk mengikuti saran Gandi.

Rangga, yang sedang mengejek Saga, segera berhenti dan memandang Gandi dengan penuh curiga. “Apa maksudmu dengan Pusaka Tombak Kyai Pleret? Apakah kamu pikir itu bisa mengalahkan aku?” Suaranya yang keras terdengar seperti tantangan yang tidak bisa dihindari, membuat Gandi tersenyum dengan senyum yang bijak.

Saga, yang sedang mendengarkan percakapan antara Gandi dan Rangga, segera mengambil keputusan. “Aku akan menunjukkan kepadamu kekuatan sebenarnya dari Pusaka Tombak Kyai Pleret!” Suaranya yang keras terdengar seperti pernyataan yang tidak bisa diubah.

Sinar putih keperakan yang bercampur dengan sinar hijau membias di tubuh Saga, dan secara ajaib, Tombak Sakti Kyai Pleret keluar dari raga Saga. Dengan gerakan yang ringan dan anggun, Saga menyerang Rangga dengan tombak tersebut. Meskipun Saga tidak mahir dengan jurus-jurus tombak, namun seakan-akan dibimbing oleh Kyai Pleret, ia menjadi sangat lihai dan membuat Rangga terdesak.

Pukulan andalan Rangga, Braja Musti, seolah-olah tertelan oleh sinar putih keperakan yang terpancar pada mata tombak. Rangga membatin dalam hati, “Situasi ini sangat merugikannya… Tidak jalan lain, aku harus menggunakan Ramuan Iblis Merah agar lebih kuat lagi dan dapat mengalahkan Saga.”

Rangga menggumamkan mantra-mantra yang aneh dan mengerikan, dan tubuhnya mulai berubah menjadi lebih besar dan kuat. “Aku akan menunjukkan kepadamu kekuatan sebenarnya dari Ramuan Iblis Merah!” Rangga berteriak dengan suara yang keras dan menakutkan, membuat Saga merasa lebih waspada dan siap untuk menghadapi serangan Rangga.

Saga, yang sedang menyerang Rangga dengan Tombak Sakti Kyai Pleret, segera merasakan tekanan yang kuat dari Rangga. Ia tahu bahwa Rangga telah menggunakan Ramuan Iblis Merah, dan bahwa ia harus lebih berhati-hati dalam pertarungan ini. Saga mempertebal semangatnya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan Rangga yang semakin kuat.

Saga, yang sedang menyerang Rangga dengan Tombak Sakti Kyai Pleret, segera merasakan tekanan yang kuat dari Rangga. Ia tahu bahwa Rangga telah menggunakan Ramuan Iblis Merah, dan bahwa ia harus lebih berhati-hati dalam pertarungan ini.

“Kamu pikir bisa mengalahkan aku dengan Ramuan Iblis Merah?” Saga menantang dengan suara yang keras dan penuh semangat. “Aku akan menunjukkan kepadamu kekuatan sebenarnya dari Tombak Sakti Kyai Pleret!” Suaranya yang keras terdengar seperti pernyataan yang tidak bisa diubah.

Rangga tertawa terbahak-bahak dan menyerang Saga dengan pukulan yang kuat. “Kamu hanya seorang anak muda yang tidak berpengalaman!” Rangga mengejek. “Aku akan menghancurkan kamu!” Suaranya yang keras terdengar seperti tantangan yang tidak bisa dihindari.

Saga dengan cepat menghindar dari pukulan Rangga dan menyerang kembali dengan Tombak Sakti Kyai Pleret. Pertarungan antara Saga dan Rangga semakin sengit dan seru, dengan kedua belah pihak menyerang dan menghindar dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Saga membatin, “Saatnya aku memanggil Dewandaru untuk membantuku. Aku tidak bisa mengalahkan Rangga yang telah dikuasai iblis ini sendirian.” Pikirannya yang cepat dan strategis membuatnya siap untuk menghadapi situasi yang semakin sulit.

Rangga, yang telah menjelma menjadi mahluk tinggi besar berwarna merah menyala dengan tanduk satu di dahinya, menyerang Saga dengan kekuatan yang luar biasa. Darah merah mengalir dari mulutnya, membuatnya terlihat seperti iblis yang mengerikan.

“Dewandaru, aku butuh bantuanmu!” Saga berteriak dengan suara yang keras dan penuh harapan. Suaranya yang keras terdengar seperti panggilan yang tidak bisa diabaikan.

Saat itu, sinar merah menyala-nyala berkelbat cepat menyerang iblis jelmaan Rangga. Sinar itu kemudian berubah bentuk menjadi jelmaan Dewandaru, seorang lelaki tinggi perkasa dengan wajah yang tampan dan kuat. Dewandaru memiliki mata yang tajam dan rambut yang panjang dan hitam, membuatnya terlihat seperti seorang pahlawan yang gagah.

“Kau telah memanggilku, Saga,” Dewandaru berkata dengan suara yang dalam dan kuat, membuat Saga merasa lebih percaya diri dan bersemangat. “Aku akan membantumu mengalahkan iblis ini.”

Dewandaru dan iblis jelmaan Rangga bertempur sengit, mengadu kesaktian mereka. Suara gemuruh dan ledakan terdengar di udara, membuat Saga merasa takjub dan khawatir. Api dan petir menyambar di sekitar mereka, membuat pertarungan semakin sengit dan dramatis.

“Kau tidak bisa mengalahkan aku!” iblis jelmaan Rangga berteriak dengan suara yang keras dan mengerikan, membuat Saga merasa lebih takut dan khawatir.

“Aku akan membuktikan bahwa kau salah,” Dewandaru menjawab dengan suara yang tenang dan percaya diri, membuat Saga merasa lebih percaya diri dan bersemangat.

Saat keduanya mengadu kesaktian, iblis jelmaan Rangga terpental dan terbakar. Api merah menyala-nyala membungkus tubuhnya, membuatnya terlihat seperti sebuah bola api yang mengerikan. Asap hitam dan api menyambar di sekitar mereka, membuat pertarungan semakin sengit dan dramatis.

“Kau telah kalah,” Dewandaru berkata dengan suara yang dalam dan kuat, membuat Saga merasa lega dan berterima kasih. “Aku telah menyelamatkan Saga dan mengalahkan kau.”

Saga merasa lega dan berterima kasih kepada Dewandaru. “Terima kasih, Dewandaru,” Saga berkata dengan suara yang penuh rasa terima kasih. “Aku tidak bisa mengalahkan iblis itu sendirian.”

Dewandaru tersenyum dan berkata, “Kau tidak perlu berterima kasih, Saga. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan sebagai pelindungmu.”

Perlahan-lahan, iblis jelmaan Rangga lenyap dan kembali ke tubuh asli Rangga yang tubuhnya gosong terbakar. Rangga menjerit kesakitan sebelum meregangnya, Rangga berteriak akan membalas dendam meski dia sudah mati. Suaranya yang keras terdengar seperti ancaman yang tidak bisa diabaikan.

“Aku akan membalas dendam… meski aku sudah mati…!” Rangga berteriak dengan suara yang lemah dan penuh dendam, membuat Saga dan Dewandaru merasa lebih waspada dan khawatir.

Entah dari arah mana, tiba-tiba asap hitam pekat menyelimuti tubuh Rangga dan membawa pergi. Asap itu bergerak dengan cepat sehingga tak mampu dikejar oleh Saga maupun Dewandaru. Mereka berdua hanya bisa menonton dengan rasa penasaran dan khawatir.

“Jangan mengejar asap itu, Saga!” Gandi berteriak dari kejauhan, membuat Saga dan Dewandaru terkejut dan berpaling ke arah Gandi. “Asap itu jelmaan Ki Jagaseta, ayah dari Rangga Wisesa!” Gandi melanjutkan, membuat Saga dan Dewandaru merasa lebih takjub dan khawatir.

Gandi menghampiri Saga dan Dewandaru, wajahnya terlihat khawatir dan prihatin. “Belum saatnya kamu bertarung dengan Ki Jagaseta, Saga. Kemampuan tenaga dalammu masih kalah tiga tingkat dengan Ki Jagaseta.” Gandi berkata dengan suara yang serius dan khawatir, membuat Saga merasa lebih waspada dan khawatir.

Saga menghela napas, merasa kesal karena tidak bisa mengejar asap hitam tersebut. “Aku tidak bisa membiarkan Ki Jagaseta membawa pergi mayat Rangga. Aku harus tahu apa yang akan dilakukan Ki Jagaseta selanjutnya.” Saga berkata dengan suara yang keras dan penuh semangat, membuat Dewandaru tersenyum dan mengangguk.

Dewandaru meletakkan tangan di bahu Saga. “Jangan khawatir, Saga. Kami akan mengawasi Ki Jagaseta dari jauh. Kami tidak bisa membiarkan kamu menghadapi bahaya sendirian.” Dewandaru berkata dengan suara yang tenang dan percaya diri, membuat Saga merasa lebih lega dan berterima kasih.

Saga mengangguk, merasa lega karena memiliki teman-teman yang peduli padanya. “Terima kasih, Dewandaru. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Saga berkata dengan suara yang penuh rasa terima kasih dan khawatir.

Saga tidak sadar bahwa Gandi dapat melihat pertarungan Dewandaru dengan iblis jelmaan Rangga, bahkan dapat melihat asap hitam pekat itu. Kecurigaan Saga terhadap Gandi semakin tinggi.

“Jangan-jangan sahabat dan teman sepguruannya ini adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi tapi dirahasikan,” Saga membatin, membuatnya merasa lebih penasaran dan khawatir. “Bahkan mampu menutup aura kesaktianya dengan baik sehingga aku maupun Rangga bahkan Guru Sulaiman tidak mengenali secara pasti siapakah Gandi sebenarnya.”

Gandi tersipu saat Saga berseru, “Terima kasih, Kakangda Gandikusuma!” Itu hanya candaan saja, namun ada isyarat Saga yang semakin ingin menyelidiki siapa Gandi ini. Gandi tersenyum dan menggelengkan kepala, namun mataunya yang tajam dan cerdas membuat Saga merasa lebih curiga.

Dalam bahasa ghaib, Saga bertanya dengan Dewandaru, “Siapa sebenarnya Gandi ini?” Dewandaru menjawab tidak tahu dan menggelangkan kepala, seraya menundukkan wajah takut bertatapan mata dengan Gandi. Dewandaru terlihat takut dan tidak berani menjawab pertanyaan Saga, membuat Saga merasa lebih penasaran.

Gandi, yang juga mendengar bisikan gaib Saga ke Dewandaru, menatap tajam ke Dewandaru. Dengan kesaktiannya, Gandi mengacam Dewandaru untuk diam dan mengatakan siapa dia sebenarnya. Gandi terlihat sangat serius dan menakutkan, membuat Dewandaru merasa lebih takut dan tidak berani berbicara.

“Diam kamu, Dewandaru,” Gandi berbisik dengan suara yang keras dan menakutkan. “Kalau kau beri tahu Saga, aku akan memasukkan jiwamu ke dalam kantongku ini.” Gandi mengancam Dewandaru dengan suara yang keras dan menakutkan, membuat Dewandaru merasa lebih takut dan tidak berani berbicara.

Dewandaru tidak berani menjawab pertanyaan Saga, karena takut akan ancaman Gandi. Saga merasa heran dan semakin curiga terhadap Gandi. “Mengapa Dewandaru tidak menjawab pertanyaanku?” Saga membatin. “Apakah Gandi memiliki rahasia yang tidak ingin aku ketahui?”

Gandi tersenyum dan menghampiri Saga. “Apa yang terjadi, Saga? Kamu terlihat curiga,” Gandi berkata dengan suara yang ramah dan tidak menimbulkan kecurigaan. Gandi terlihat sangat santai dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia memiliki rahasia yang tidak ingin Saga ketahui.

Saga menggelengkan kepala dan berusaha menyembunyikan kecurigaannya. “Tidak ada, Gandi. Aku hanya merasa heran karena Dewandaru tidak menjawab pertanyaanku.” Saga berusaha menyembunyikan kecurigaannya, namun Gandi terlihat sangat tajam dan cerdas, membuat Saga merasa lebih tidak nyaman.

Gandi mengangguk dan meletakkan tangan di bahu Saga. “Jangan khawatir, Saga. Aku akan selalu menjaga kamu dan membantumu dalam pertarungan melawan kejahatan.” Gandi berkata dengan suara yang ramah dan tidak menimbulkan kecurigaan, namun Saga masih merasa tidak nyaman dan curiga terhadap Gandi.

Setelah pertarungan sengit dengan Rangga, Saga dan Gandi melihat kondisi Nayaka Sari yang sedang bersilah berusaha mengatur napas untuk menstabilkan kondisi dirinya. Mereka berdua terlihat lega dan berterima kasih karena Nayaka Sari selamat.

Basri, Karto, dan tiga warga lain yang ikut dalam penyerangan sarang perompak di Pulau Onrust berjingkrak kesenangan karena mereka telah berhasil membebaskan pulau mereka dari genggaman perompak ganas. Mereka berteriak dan menari dengan gembira, membuat suasana menjadi lebih ceria dan meriah.

Di saat bersamaan, Ki Badri yang juga berada tidak jauh dari lokasi itu menghampiri Saga. Dengan berpura-pura menyanjung-nyanjung kesaktian Saga, Ki Badri sebenarnya telah mempersiapkan badik kecil yang telah dilumuri racun untuk menusuk Saga. Ki Badri terlihat sangat licik dan berbahaya, membuat Saga tidak menyadari bahaya yang akan datang.

Namun, perhitungan Ki Badri meleset. Saat akan menusuk Saga, ajian Tameng Waja milik Saga bereaksi dan mengeluarkan hempasan energi yang cukup besar sehingga Ki Badri terpental. Ki Badri muntah darah seraya menjerit keras seperti ada pukulan kuat yang juga menghantamnya dari arah samping.

Tapi, apa yang terjadi? Gandi ternyata telah mengenali gelagat tidak baik dari Ki Badri dan mengeluarkan ajian “Gelap Ngampar” yang merupakan ajian pelindung diri, tapi juga bisa menjadi pukulan jarak jauh yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Gandi terlihat sangat kuat dan berpengalaman, membuat Saga semakin penasaran tentang kemampuan dan latar belakang Gandi yang masih menjadi misteri.

Bahkan Saga pun tidak mengetahuinya. Gandi sangat pandai menyimpan rahasia dirinya, dan Saga semakin penasaran tentang kemampuan dan latar belakang Gandi yang masih menjadi misteri.

Gandi tersenyum dan berkata, “Sudah, biarkan penghianat itu modar.” Gandi terlihat sangat tenang dan percaya diri, membuat Saga merasa lebih lega dan berterima kasih.

Hasanudin yang berlarian ke arah Saga dan Gandi berteriak, “Saga, waspadalah! Ki Badri adalah penghianat dan juga mata-mata perompak!” Hasanudin terlihat sangat khawatir dan berusaha untuk memberikan peringatan kepada Saga.

Tapi, Hasanudin terlambat. Ki Badri sudah terbujur kaku dengan muka lebam kehitaman. Basri mencemooh Hasanudin, “Kemana saja kamu, Din? Kita mati-matian menumpas perompak, kamu malah bersembunyi.” Basri terlihat sangat kesal dan kecewa dengan Hasanudin.

Karto menimpali, “Bukanya kita mati-matian menahan kecing, agar tidak bau pesing karena ketakutan oleh perompak?” Perkataan Karto membuat Saga dan lainnya tersenyum, sementara Basri tertunduk malu. Suasana menjadi lebih santai dan ceria setelah pertarungan sengit.

Gandi menghampiri Ki Badri dan memeriksa tubuhnya. “Ki Badri sudah tidak bernyawa lagi. Tapi, kita harus waspada, karena masih ada kemungkinan bahwa ada penghianat lain di antara kita.” Gandi terlihat sangat serius dan waspada, membuat Saga dan lainnya merasa lebih khawatir.

Saga mengangguk, “Benar, Gandi. Kita harus waspada dan terus berhati-hati.” Saga terlihat sangat percaya diri dan berani, membuat Gandi dan lainnya merasa lebih lega.

Saat Nayaka Sari masih belum sadar, Saga dan Gandi saling menatap dengan khawatir. “Gandi, apa yang harus kita lakukan?” Saga bertanya dengan suara yang khawatir.

Gandi menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, Saga. Tapi aku ingin mencoba mengobatinya.” Gandi terlihat sangat peduli dan ingin membantu Nayaka Sari.

Tapi sebelum Gandi bisa melakukan apa pun, Saga mencegahnya. “Hey, Gandi! Kamu bukan muhrimnya Nayaka. Jangan sembarangan mengobatinya.” Saga terlihat sangat protektif dan peduli terhadap Nayaka Sari.

Gandi tersenyum. “Aku hanya ingin membantu, Saga.” Gandi terlihat sangat sabar dan mengerti.

Saat itu, Ratu Mayangsari berbisik dengan Saga. “Saga, Nayaka Sari adalah keturunanku. Kamu harus menyelamatkannya.” Ratu Mayangsari terlihat sangat khawatir dan peduli terhadap Nayaka Sari.

Saga menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar bisikan Ratu Mayangsari. “Baik, Kanjeng Ratu. Aku akan menyelamatkannya.” Saga terlihat sangat percaya diri dan berani.

Ratu Mayangsari melanjutkan. “Cari ‘Rumput Pati Murni’ yang tumbuh di tengah hutan di Pulau Rambut. Rumput itu berkhasiat menyembuhkan luka dalam yang diderita Nayaka Sari.” Ratu Mayangsari terlihat sangat yakin dan percaya diri.

Saat itu, Amirudin, istrinya, dan Nirmala datang untuk menjemput Saga. “Saga, kami sudah mendengar tentang keberanianmu menumpas gerombolan perompak di Pulau Onrust,” Amirudin berkata dengan suara yang bangga dan menghargai.

Istri Amirudin menatap Nayaka Sari dengan penasaran. “Siapa gadis cantik nan anggun ini?” tanyanya pada Amirudin dengan suara yang lembut dan penasaran.

Amirudin terlihat bingung. “Aku tidak tahu, istriku. Siapa dia?” Amirudin bertanya dengan suara yang tidak yakin.

Basri dan Karto juga menatap Nayaka Sari dengan heran. “Siapa dia?” Basri bertanya dengan suara yang penasaran.

Karto menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, tapi dia terlihat cantik.” Karto berkata dengan suara yang sederhana dan jujur.

Nirmala mencembetutkan bibirnya. “Aku tidak suka gadis ini. Dia terlalu cantik dan anggun.” Nirmala berkata dengan suara yang tidak suka dan cemburu.

Siti Hajar menatap Nirmala dengan kesal. “Nirmala, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kita harus menghormati tamu kita.” Siti Hajar berkata dengan suara yang tegas dan mengingatkan.

Nirmala menundukkan kepala, tapi masih terlihat mencembetutkan bibirnya. Nirmala terlihat tidak puas dan masih cemburu.

Ratu Mayangsari melanjutkan bisikan ghaibnya kepada Saga. “Saga, terlebih dulu kamu harus mengambil Pusaka Cemeti Bondonoyo yang tersimpan di Pulau Onrust.” Ratu Mayangsari berkata dengan suara yang lembut dan misterius.

Saga mengangguk dalam hati, memahami perintah Ratu Mayangsari. Saga terlihat sangat serius dan bersemangat.

Setelah itu, Saga meminta Amirudin untuk membawa Nayaka Sari ke Pulau Untung Jawa. “Pak Amirudin, tolong bawa Nayaka Sari ke Pulau Untung Jawa. Aku khawatir tentang keselamatannya.” Saga berkata dengan suara yang khawatir dan peduli.

Amirudin mengangguk. “Baik, Saga. Aku akan membawanya ke sana.” Amirudin berkata dengan suara yang setuju dan bersemangat.

Saga kemudian meminta Gandi untuk menemani Nayaka Sari. “Gandi, tolong temani Nayaka Sari ke Pulau Untung Jawa. Aku percaya kamu dapat melindunginya.” Saga berkata dengan suara yang percaya diri dan bersemangat.

Gandi mengangguk. “Baik, Saga. Aku akan melindunginya.” Gandi berkata dengan suara yang setuju dan bersemangat.

Sementara itu, Saga meminta waktu sehari di Pulau Onrust untuk mencari Pusaka Cemeti Bondonoyo. “Aku membutuhkan waktu sehari di sini untuk mencari sesuatu. Hasanudin, tolong temani aku.” Saga berkata dengan suara yang bersemangat dan percaya diri.

Hasanudin mengangguk. “Baik, Saga. Aku akan menemani kamu. Aku pernah ditawan perompak di sini, jadi aku mengetahui kondisi pulau ini dengan baik.” Hasanudin berkata dengan suara yang setuju dan bersemangat.

Dengan demikian, Saga dan Hasanudin berangkat untuk mencari Pusaka Cemeti Bondonoyo, sementara Gandi dan Siti Hajar membawa Nayaka Sari ke Pulau Untung Jawa.

Apakah Saga berhasil mencari Pusaka Cemeti Bondonoyo? Bagaimana nasib Nayaka Sari setelah dibawa ke Pulau Untung Jawa? Dan apa lagi tantangan yang harus dihadapi oleh Saga dan kawan-kawan? Tunggu kelanjutan kisah Saga di Bab 7 : Menyibak Onrust yang Misterius!

 

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!