“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 7: Menyibak Onrust yang Misterius
Malam menebarkan tirai kelamnya, membungkus reruntuhan tua di Pulau Onrust dalam kabut misteri. Angin berdesir pelan, membawa aroma laut yang bercampur dengan kelembapan bebatuan tua. Di antara bayang-bayang pepohonan berduri, dua sosok pemuda melangkah dengan hati-hati.
“Hati-hati, Saga. Pulau ini tak hanya menyimpan reruntuhan, tapi juga bahaya,” suara Hasanudin lirih, nyaris tenggelam oleh gesekan dedaunan yang mereka sibak.
Saga, pemuda berusia dua puluh tahun dengan pakaian putih dan ikat pinggang merah, hanya mengangguk. Matanya tetap fokus menatap ke depan, tak tergoyahkan oleh peringatan sahabatnya. “Berapa jauh lagi reruntuhan itu?” tanyanya.
“Tak jauh. Lihat ke sana,” Hasanudin mengangkat tangannya, menunjuk siluet bangunan tua yang hampir tertelan oleh rimbunan semak.
Saga mempercepat langkahnya, namun tiba-tiba, angin dingin berembus kencang. Di tengah kabut tipis yang bergulung-gulung, samar-samar muncul sosok wanita berbusana kuning keemasan. Wajahnya lembut dan anggun, bercahaya seperti rembulan di atas lautan.
“Ratu Mayangsari…” bisik Saga dalam hati.
“Saga, hati-hati… Batu hitam itu menyimpan rahasia. Buka matamu, gunakan cincinmu!”
Saga menatap batu hitam besar yang berdiri di tengah reruntuhan. Aura misterius memancar darinya. Ia melangkah mendekat, tapi—
Braak!
Tubuhnya terpental ke belakang, seperti menabrak dinding tak kasat mata!
“Apa ini?!” Saga terperangah.
“Gunakan cincinmu, Saga! Dan ucapkan Ajining Diri Gumantung Ing Lathi tiga kali!”
Dengan cepat, Saga menyelipkan cincin pusaka di jarinya. Cahaya keemasan memancar dari tangannya, berdenyut seperti nadi. Perlahan, ia mengangkat telapak tangannya ke arah batu hitam.
“Ajining Diri Gumantung Ing Lathi…”
Seketika, angin berputar ganas! Daun-daun beterbangan, pasir dan debu terangkat ke udara. Dari dalam kegelapan, muncul dua pasang mata menyala.
GROARRR!!!
Dua harimau raksasa muncul di hadapan Saga—satu berwarna putih dengan garis hitam di perutnya, yang lain hitam pekat bagai bayangan malam.
“Apa yang kau lakukan, anak muda?” suara berat dan dalam menggetarkan udara.
“Kau telah membangunkan kami dari tidur panjang!” geram harimau hitam, sorot matanya menusuk tajam.
Saga menahan napas, tapi tatapannya tak goyah.
“Aku tak berniat mengganggu,” katanya dengan tenang. “Aku hanya mencari jawaban.”
Harimau putih menyeringai, memperlihatkan taringnya yang tajam. “Jawaban bukan untuk mereka yang lemah.”
Harimau hitam mencakar tanah, menciptakan retakan kecil. “Buktikan kau layak, atau kau akan terkubur di sini!”
DUGGG!!!
Tanah bergetar. Saga mengepalkan tinjunya. Ia tahu, ujian ini baru saja dimulai…
“Dia memakai cincin itu, Kakang. Apa mungkin anak muda ini yang kita tunggu?”
“Kita harus memastikan, Kumbala. Jangan sampai kita keliru,” jawab Harimau putih yang dipanggil Kurnbala. Sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan.