Kisah  

Titah Sang Sultan

Bab 4

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

 

BAB 4: Titah Sang Sultan

Langit Demak mulai merona jingga, memberikan kesan yang dramatis dan menegangkan. Para pendekar yang telah memenangkan babak pertama uji tanding bersiap menghadapi lawan berikutnya dengan semangat dan ketegangan yang memuncak. Di antara mereka, Saga masih menyimpan ketegangan dari pertarungannya melawan Rangga Wisesa. Meski menang, ia tahu bahwa tantangan sesungguhnya baru saja dimulai.

Di tengah alun-alun, dua pendekar berikutnya memasuki arena dengan langkah yang percaya diri. Zainudin, murid dari Sulaiman, berhadapan dengan seorang perempuan bertubuh ramping dengan pakaian serba ungu dan wajah tertutup cadar tipis. Mata tajamnya menatap Zainudin dengan sorot penuh ketenangan, membuatnya merasa tidak nyaman. Ia dikenal sebagai Nayaka Sari, murid utama Ki Patih Suryanata, pendekar wanita terbaik Kesultanan Demak yang terkenal dengan kecantikan dan keperkasaannya.

Zainudin menelan ludah, merasakan tekanan yang memuncak. Ia bukan pendekar sembarangan, namun melihat sosok lawannya, ia bisa merasakan hawa keperkasaan yang menekan dadanya. Sebelum pertarungan dimulai, mereka berdua saling memberi hormat dengan gerakan yang sopan dan hormat.

“Aku tidak ingin meremehkanmu,” ucap Nayaka Sari dengan nada tenang dan berwibawa. “Namun, jika kau hanya bertarung dengan setengah hati, kau akan terkapar sebelum sempat berkedip.”

Zainudin mengepalkan tinjunya dengan semangat dan ketegangan. “Aku takkan mundur.”

Namun, pertarungan itu hanya berlangsung sekejap. Nayaka Sari menggunakan Jurus Srigunting, dengan tiga gerakan cepat dan gesit ia menutup celah pertahanan Zainudin. Dalam satu hentakan tajam dan mematikan, ia melayangkan serangan ke pundak dan perut Zainudin. Tubuh pemuda itu terpental ke belakang dan jatuh terkapar dengan keras.

Sulaiman segera menghampiri muridnya yang berusaha bangkit dengan susah payah. Wajah Zainudin dipenuhi kegetiran dan penyesalan. “Guru… aku menyesal. Aku… aku yang menyuruh tiga berandalan di pasar untuk memukuli Saga… Aku iri kepadanya.”

Sulaiman menarik napas panjang dengan kesabaran dan kebijaksanaan. “Kejujuranmu di saat ini sudah cukup membuktikan bahwa kau menyadari kesalahanmu. Namun, ingatlah, pertarungan sejati bukanlah tentang siapa yang menang dan kalah, melainkan bagaimana kau menghadapi kelemahanmu sendiri.”

Babak berikutnya mempertemukan pendekar-pendekar lainnya yang siap untuk bertarung dan memperebutkan gelar juara. Perwakilan Perguruan Genta Bumi, yang dikenal dengan kekuatan dan kecepatannya, berhasil mengalahkan pendekar dari Perguruan Tapak Baja dengan duel yang cepat dan agresif. Keduanya bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, namun pendekar dari Perguruan Genta Bumi berhasil mendapatkan keunggulan dengan teknik bertarungnya yang lebih matang.

Sementara itu, Saga dengan mudah menyingkirkan wakil dari Perguruan Kelabang Ungu dengan teknik bertarungnya yang terus berkembang. Ia bergerak dengan lincah dan gesit, menghindari serangan lawannya dengan mudah dan membalas dengan serangan yang tepat dan mematikan.

Namun, perhatian utama tertuju pada Nayaka Sari yang menghadapi pendekar dari Perguruan Genta Bumi. Dalam satu gerakan anggun dan elegan, ia mengeluarkan jurus Ratu Srigunting Membelah Angin, yang mengombinasikan kecepatan dan presisi luar biasa. Lawannya bahkan tidak sempat melakukan perlawanan sebelum jatuh tersungkur ke tanah dengan keras. Nayaka Sari berdiri di atasnya, menang dengan mudah dan percaya diri.

Malam Sebelum Pertarungan Final

Saat malam tiba, Saga duduk bersila di kamar penginapannya di istana, mencoba menenangkan pikirannya dan mempersiapkan diri untuk pertarungan final. Tiba-tiba, suara lembut yang sudah dikenalnya berbisik di telinganya, membuatnya merasa lebih tenang dan siap.

“Saga… pertarungan esok hari bukanlah sekadar uji tanding biasa,” kata suara itu dengan nada yang bijak dan berwibawa.

Ratu Mayangsari muncul dalam cahaya samar, wajahnya tenang namun penuh makna. Ia memandang Saga dengan mata yang bijak dan berpengalaman.

“Aku harus bertarung sebaik mungkin, bukan?” tanya Saga dengan nada yang percaya diri.

Ratu Mayangsari tersenyum samar. “Bukan hanya itu. Lawanmu bukan sekadar pendekar berbakat. Ia adalah seseorang yang akan menemanimu dalam perjalanan panjang, di enam pulau, di Demak, dan bahkan ketika kau kembali ke masamu.”

Saga terdiam, merasakan keheranan dan kepenasaran. “Maksudmu… Nayaka Sari?” tanyanya dengan nada yang ragu-ragu.

Ratu Mayangsari tidak menjawab secara langsung, hanya tersenyum penuh misteri sebelum menghilang dalam kilatan cahaya. Malam itu, dalam perenungan yang dalam, Saga menyadari bahwa ia telah mencapai kemajuan besar.

Ia kini menguasai Saipi Angin Tingkat Kedua, serta meningkatkan jurus Betsi hingga tingkat ke-15.

Saga tersenyum kecil, merasakan kepercayaan diri dan kesabaran. Pertarungan esok hari akan menjadi ujian sejatinya, dan ia siap untuk menghadapinya dengan kekuatan dan ketenangan.

Pertarungan Final: Saga vs Nayaka Sari

Keesokan paginya, alun-alun penuh dengan para penonton yang bersemangat dan penasaran. Semua orang ingin menyaksikan pertarungan antara dua pendekar paling menonjol dalam uji tanding ini.

Sebelum pertarungan dimulai, Saga sempat berbicara dengan Sulaiman dan Rahma, yang memberikan dukungan dan semangat.

“Hati-hati, Saga,” ujar Rahma dengan nada khawatir. “Pendekar itu… dia sangat kuat.”
Saga tersenyum menenangkan. “Aku tahu, Rahma. Aku siap.”

Sementara itu, Ki Patih Suryanata mendekati Nayaka Sari, yang berdiri dengan percaya diri dan siap untuk bertarung.

“Jangan menahan diri. Aku ingin kau menguji ketangguhannya,” kata Ki Patih Suryanata dengan nada yang serius.

Nayaka Sari mengangguk. “Baik, Guru.”

Saat pertarungan dimulai, Nayaka Sari langsung menyerang dengan jurus Srigunting Menukik, gerakan cepat dan tajam seperti burung pemangsa. Saga dengan gesit menghindar, lalu membalas dengan Jurus Tapak Pemecah Samudera. Bentrokan keduanya menciptakan semburan debu di arena.

Nayaka Sari terus menekan, mengombinasikan serangan dengan Jurus Ratu Srigunting Menebar Pesona. Gerakan ini begitu cepat hingga Saga hampir tidak bisa mengikuti.

Ketika Nayaka Sari mengerahkan serangan terakhirnya, Tameng Waja Tingkat Kedua secara refleks melindungi tubuh Saga dari serangan fatal. Seketika itu juga, Nayaka Sari tersentak, matanya melebar saat ia melihat sosok Ratu Mayangsari di dalam diri Saga.

Tiba-tiba, ia mundur selangkah, kehilangan keseimbangan. Momen itu cukup bagi Saga untuk membalikkan keadaan, menjatuhkan Nayaka Sari, dan memenangkan pertarungan.

Sorak-sorai memenuhi alun-alun. Namun, Saga melihat mata Nayaka Sari masih terfokus padanya, penuh kebingungan dan ketertarikan.

Sultan Demak berdiri dari singgasananya dengan wibawa dan kekuasaan yang tak terbantahkan. “Wahai para pendekar, hari ini kita telah menyaksikan kehebatan para pejuang sejati yang telah menunjukkan kemampuan dan keberanian mereka. Kini, tibalah saatnya titahku…”

Saga menatap ke arah sang Sultan dengan penuh perhatian dan rasa hormat. Dalam hatinya, ia tahu bahwa petualangannya baru saja dimulai, dan bahwa ia harus siap menghadapi tantangan dan ujian yang akan datang.

Setelah dinyatakan sebagai pemenang, Saga dipanggil Sultan Demak ke istana. Sang Sultan menyambutnya dengan senyum bangga.

“Saga, kau telah menunjukkan kekuatan dan kebijaksanaan yang luar biasa. Aku memiliki tugas penting untukmu, sebuah tugas yang membutuhkan keberanian dan kecerdasanmu,” ucap Sultan dengan nada yang serius.

Saga menunduk hormat, merasakan kehormatan dan tanggung jawab yang besar. “Perintah paduka adalah kehormatanku, Baginda.”

“Aku ingin kau kembali ke Kepulauan Seribu dan mencari pusaka leluhur yang tersembunyi di sana. Pusaka ini memiliki kekuatan besar yang dapat membantu kita melawan penjajah dan membawa kemerdekaan bagi rakyat kita. Tapi bukan hanya itu, aku juga ingin kau membantu rakyat di sana yang tengah menderita dan membutuhkan bantuanmu,” jelas Sultan dengan mata yang berbinar dengan harapan.

Saga mengepalkan tangan, semangat berkobar dalam dadanya. “Aku siap melaksanakan tugas ini, Baginda. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

Sultan menepuk pundaknya dengan senyum bangga. “Aku percaya padamu, Saga. Pergilah dan bawalah harapan rakyat bersamamu. Kita akan menunggu kabar baik darimu.”

Kembali ke Kepulauan Seribu

Dalam perjalanan kembali ke Perguruan Tanjung Pasir, Zainudin mendekati Saga dengan ekspresi menyesal yang terlihat jelas di wajahnya. “Saga, aku ingin meminta maaf. Aku salah menilaimu sebelumnya. Kau telah membuktikan dirimu sebagai pendekar sejati.”

Saga tersenyum dan menepuk bahu Zainudin dengan hangat. “Tidak ada dendam di antara saudara. Kita adalah keluarga.”

Saat rombongan melanjutkan perjalanan, Saga melihat sekilas bayangan ungu berkelebat di kejauhan. Sosok itu mengenakan cadar, namun mata indahnya bersinar penuh misteri. Saga tertegun, merasa ada sesuatu yang familiar dengan sosok itu. Apakah itu Nayaka Sari?

Rahma mendekati Saga dan menyentuh bahunya dengan lembut. “Apa yang kau lihat?” tanyanya dengan nada menyindir yang terdengar jelas.

Saga tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekagetannya. “Hanya bayangan.”

Rahma mendengus, terlihat tidak percaya. “Dasar lelaki, mudah tergoda kalau melihat wanita cantik.”

Saga terkekeh, tetapi ia merasakan Rahma tidak sepenuhnya percaya padanya. Ia bisa merasakan kecurigaan Rahma, namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan itu.

Sesampainya di Perguruan Tanjung Pasir, Saga berpamitan kepada Guru Sulaiman, Nyai Hasanah, Rahma, dan Zainudin. Rahma tampak berusaha menahan air matanya, dengan mata yang merah dan berbinar dengan kesedihan.

“Saga, jangan tinggalkan aku…” bisiknya dengan suara yang bergetar.

Saga memegang tangannya dengan lembut, merasakan kesedihan yang sama. “Aku harus pergi, Rahma. Aku janji akan kembali.”

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!